Tampilkan postingan dengan label Diary. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Diary. Tampilkan semua postingan

Menikmati Sakit


Lebih dari seminggu aku tidak bekerja di studio jahit, sakit. Karena itu aku disarankan untuk istirahat.
Selama beristirahat di rumah, aku malah merencanakan banyak hal untuk kukerjakan. Mumpung bisa seharian di rumah.

Karena aku adalah orang yang tidak suka bermuram durja, gundah gulana sedih tiada tara, maka aku harus mampu menikmati apapun yang terjadi dalam hidupku.

                                                                          ***

Hari pertama.
Sakit membuatku malas bangkit dari tempat tidur *ssstt…(bacanya jangan keras-keras), aku bisa memuaskan kegemaranku, tidur*.
Hari pertama aku sukses menikmati sakitku dengan memuaskan tidur, walau sebentar-sebentar bangun karena pusing, tapi yang penting aku bisa tidur kapanpun aku mau. *puk-puk bantal*

Hari kedua.
Sudah mulai bisa turun dari tempat tidur, walau cuma pindah tempat, karena aku kembali berbaring di depan televisi. Badan tidak bergerak sebagaimana mestinya itu malah terasa tidak nyaman.
Karena tidak selera makan, tapi harus makan, maka aku makan kulkas, eh maksudnya aku berlama-lama di depan kulkas, mencari makanan yang kuperkirakan akan terasa enak di lidahku dan setelah kumakan perutku tak memutahkannya.
Di kulkas ada beberapa potong ubi ungu yang kukukus dua hari sebelumnya.
Wah dibikin puding mungkin enak ya?, mulailah aku mereka-reka bagaimana membuatnya. Maklum aku tidak suka memasak, aku hanya suka makannya saja.
Jadilah hari kedua aku membuat puding ubi ungu, dan berhasil teman-teman! *dunia harus tahu*
Yup! hari kedua sakit telah kulalui dengan keberhasilan membuat puding ungu nan cantik dan lezat *angkat dagu, busungkan dada*



Hari ketiga.
Aku masih merasa lemas, tapi keadaannya telah lebih baik.
Saat lihat rak sepatu, kok banyak kardus yang menumpuk ya?, mulailah aku membenahi kardus-kardus sepatu tersebut. Hickz, ternyata banyak sepatu yang kulitnya terkelupas karena jarang dipakai dan terlalu lama di dalam kardus.
Aku memisahkan mana sepatu yang masih bagus dan mana yang tak akan lagi kupakai (walau masih layak pakai). Tak sampai satu jam, dua rak sepatu telah rapi, 60% isinya telah berpindah ke dua tas plastik besar. Senang rasanya melihat rak sepatu yang bersih, isinya hanya 10 pasang sepatuku.
Sepatu yang masih layak pakai namun aku enggan memakainya akhirnya berpindah ke tangan yang mau menerimanya.
Hari ke tiga sakit malah membuatku ingin terus membersihkan rumah. Selain rumah terasa lebih bersih dan lapang, aku juga mulai belajar untuk tidak menambah tempat penyimpanan barang. Jadi menurutku akan lebih baik jika aku membeli sepatu lagi, maka harus ada sepatu lama yang “dihibahkan”, begitu pula barang-barang lainnya.
Sebelum tidur, aku telah mengagendakan besok adalah hari membersihkan semua lemari pakaian. Lemari orang tuaku dan lemariku sendiri.

Hari ke empat.
Aku segera memindahkan setengah isi lemari kami ke dalam beberapa tas plastik besar. Beberapa tas plastik inipun dengan sukses berpindah tangan.
Lega sekali rasanya melihat isi lemari pakaianku tak lagi berjejalan.
Hari ke empat sakit membuahkan niat untuk tak lagi koleksi baju, tas dan sepatu. Ternyata aku malah merasa bahagia saat melihat baju, tas dan sepatuku hanyalah yang sering kupakai saja. Dulu rasanya kok ketinggalan jaman banget kalau ke pesta tasnya dari itu ke itu terus. Sekarang rasa itu telah sirna, menguap entah kemana, mungkin juga karena pengaruh usia ya?. Sudah mulai “matang”, percaya dirinya lebih kuat tertanam, sehingga tetap PD walau memakai tas yang itu-itu juga.

Hari ke lima.
Aku membersihkan kamar jahit, hasilnya ada sat seprei katun yang sudah tak dipakai, kugunting kecil-kecil, kugunakan untuk lap. Mulailah aku mengelap kaca, ngelap perabot rumah tangga, hingga setengah dari seprei itu berpindah ke tempat sampah.
Hari ke lima sakit membuat kaca jendela kinclong.

Hari ke enam.
Hari ini kujadwalkan untuk membersihkan pot bunga, dan mengganti tanahnya. Jadilah aku angkat-angkat pot, mencampur tanah dengan pupuk kandang, lalu memasukkannya kembali ke dalam pot. Capek. Lalu aku kembali merasa pusing, hal ini (kuduga) disebabkan terlalu lama terkena sinar matahari (dari pagi sampai menjelang ashar terpapar matahari).
Hari ini kujanjikan pada diriku untuk lebih telaten merawat tanaman.
Oh ya tetangga sebelahku yang juga hobi bercocok tanam memberiku beberapa pot tanaman. Akh senangnya mempunyai tetangga yang baik *peluk*

Hari ke tujuh.
Hari ini aku menikmati liburan. Liburan kemana?, rahasia dunk #halah

Hari ke delapan.
Masih menikmati liburan.

Hari ke sembilan.
Masih menikmati liburan walau kedinginan.

Hari ke sepuluh.
Mulai mikir jahitan, dan langsung menuju studio jahit. Seperti kuduga, patnerku kembali menggunakan jasa tukang potong, dan hasilnya banyak yang perlu dibenahi. Seorang tukang jahit juga tiba-tiba merangkap jadi tukang potong karena aku tidak bekerja.
Kasihan patnerku, karena dia harus memberitahu ini dan itu pada tukang potong dadakan, dan ini tentu saja menyita waktu, padahal dia juga harus mengurusi pelanggan yang datang sekaligus membuat pola. Maka hari itu juga aku mulai memotong kain. Baru satu potong mulai pusing (padahal liburan 3 hari gak pusing). Akhirnya aku membawa pekerjaan ke rumah.

Hari ke sebelas.
Hari ini aku tak mau lagi beristirahat di rumah. Walau rasa pusing masih sering terasa, namun aku harus bekerja di studio jahit.
Yak! mulai hari ini aku sudah kembali memotong kain dan membuat pola. Kalau pusing, aku tiduran di studio jahit.

Untunglah aku sakit saat murid sekolah libur, jadi aku juga libur mengajar, sehingga aku bisa pulang ke rumah sebelum magrib dan menikmati waktu istirahat yang lebih panjang.

Meski sakit, jika dinikmati, bisa juga mendatangkan banyak manfaat.
Apalagi jika menjalani sakit dengan sabar, itu akan menggugurkan dosa-dosa kecil.
Terakhir, kita harus terus bertekad dan berupaya untuk sembuh. Sabar menanti kesembuhan akan memotivasi kita untuk tidak menyerah pada rasa sakit dan membuat kita “merasa sembuh” tidak hanya pada fisik, namun juga pada sisi spiritual.

Wallahu a’lam bishshawab
»»  Baca Selengkapnya...

Memilih yang Baik



Dulu saya pernah memposting perihal pilihan disini
Kini saya menuliskan kembali soal pilihan yang membawa saya pada apa yang disebut dengan bahagia lahir batin #cetaaaaaaaar
Allah meminta kita untuk bergaul dengan orang-orang sholeh. Hal ini dimaksudkan agar kesholehan mereka “menular” kepada kita.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak sholeh?, dijauhi?.
Ya kalau pembaca bisa membuatnya lebih baik, monggo didekati dan dinasehati agar sholeh, tapi kalau merasa belum mampu menasehati, menurut saya, lebih baik menjauh dan menghindar saja. Eh ini menurut saya lho ya, kalau beda pendapat ya silahkeun.

Kadang kita baru tersadar telah salah memilih setelah melewati satu peristiwa.
Itulah yang saya alami. Saya tidak menyebutnya salah bergaul, namun salah memilih orang yang patut untuk didengar dan dilaksanakan omongannya.
Saya tidak akan menyalahkan orang lain atas peristiwa apapun yang saya alami, karena semua peristiwa yang terjadi, tentulah atas ijinNYA. Jika pandai memetik hikmah, peristiwa sepahit apapun akan terlihat bagai sebongkah batu yang dapat kita pijak, agar kita bisa lebih tinggi, sehingga dapat melihat lebih luas.

Karena sebuah tanggung jawab, mengharuskan saya setiap hari bertemu dengan “segerombol” orang-orang ini *kita namakan saja mereka gerombolan komentator ya (soalnya “profesi tetap” mereka adalah mengomentari orang lain)*
Gerombolan ini tak sepaham dengan saya, misalnya mereka menganggap pilihan saya untuk menjadi penjahit adalah pilihan salah, karena profesi penjahit itu tidak keren, tidak bergengsi. Sayapun mulai berpikir, mungkin benar ya jadi penjahit itu tidak keren?, tapi saya memang suka sekali menjahit dan ingin mempunyai usaha dalam bidang jahit menjahit, jadi bingung deh. Mulailah saya ragu dengan pilihan saya, akhirnya saya hanya membuat baju untuk diri sendiri demi memuaskan hobi menjahit.
Kemudian saya melirik dunia tulis menulis, dengan harapan saya akan “satu pemahaman” dengan mereka, karena memilih dunia yang lebih keren dari “hanya sekedar menjadi penjahit” (harus pakai tanda petik dan ditulis miring, PENTING!). Tapi apa yang terjadi?, saya dikomentari pemalas, karena kerjanya hanya di depan laptop terus (idih, padahal saya kan juga ngurus mama yang sakit, mengerjakan urusan rumah, masak, bebersih, ngelesin privat, #Hrrrrgggg). Pada tahap ini sayapun belum sadar kalau saya seharusnya tak perlu mendengarkan komentar mereka. Akhirnya saya memilih menuruti apa kata gerombolan ini, berhenti menulis dan tidak lagi terkoneksi dengan internet, walau dengan hati perih bagai tersayat sembilu #lebaaaaaaaayyyyyy.

Njahit gak boleh, nulis gak boleh, okh ngaji mungkin boleh ya?, mulailah saya aktif kembali mengaji, setelah pernah berhenti selama 3 tahun. Seiring dengan bertambahnya ilmu dan pemahaman saya, penampilan sayapun mulai berubah. Saya memakai baju muslim, gamis lebar, kerudung menutup dada.
Aoalaaaaaaahhh, lagi-lagi dikomentari miring. Mereka bilang penampilan saya ndeso, tidak modis, bajunya kegedean. Sayapun diperingatkan untuk tidak perlu “seperti itu” (gak perlu ngaji maksudnya), khawatir saya jadi teroris, karena bergaul dengan teman mengaji yang mengenakan cadar. #pyuuuh #ngelappeluh.

Yup! cukup sampai disini!, saya mulai berpikir untuk “memberontak” atas penilaian mereka.
Hingga pada satu peristiwa yang membuat saya yakin bahwa mengabaikan mereka adalah lebih baik bagi saya *ekstrem ya*.
Mulailah hari itu juga saya proklamirkan ke diri sendiri, bahwa saya layak untuk melakukan apa yang saya suka, apa yang saya anggap baik, tanpa harus menuruti mereka. Toh semua yang saya lakukan dan dikomentari miring itu bukanlah hal yang melanggar batas apapun. Jadi apa yang harus saya khawatirkan?.

Dengan membawa rasa percaya diri segede gaban, saya mulai menghubungi sahabat saya semasa SMA. Kami memutuskan untuk bekerja sama dalam bisnis jahit menjahit.
Saya mulai membuka internet kembali, memuaskan menulis dan membaca.
Jika dulu saya harus berganti baju saat akan bertemu salah satu orang dari gerombolan ini *biar tidak dikomentari miring*, kini dengan tenangnya saya akan memakai gamis segede payung terkembang, dengan kerudung menjulur panjang.

Lalu tiba-tiba dunia menjadi indah berwarna-warni, awan berarak, bunga berseri-seri, kumbang menari lincah. Seperti itulah dunia yang saya lihat, begitu saya tak lagi khawatir akan komentar gerombolan ini.
Hidup terasa sangat menyenangkan saat kita mengerjakan apa yang kita suka, sampai saya ingin salto jumpalitan tiap hari karena senangnya,.
Saya merasa nyaman diantara gulungan kain dan kertas-kertas pola.
Saya juga merasa seksi saat dikelilingi tumpukan buku, kemudian mengahadap laptop dan konsentrasi menulis apapun yang ada dalam pikiran saya. Pokoknya nulis, mau di publikasi atau tidak, saya tetap senang mengerjakannya.
Saya juga merasa tenang mengenakan gamis lebar, karena busana model itulah yang saya pahami sebagai busana yang baik.

Tak sekalipun saya menyalahkan mereka, karena memang sayalah yang salah, kenapa juga saya ijinkan mereka menyetir hidup saya?, dah gitu nyetirnya bukan ke arah yang saya tuju *cakar-cakar aspal*.
Pilihan mengabaikan yang tak baik membuat saya dapat tersenyum.
Tersenyum saat melihat tulisan saya ada diantara halaman majalah atau koran, puas meraba payet yang berbaris rapi di baju pelanggan dan kadang tertawa saat membaca komentar teman di internet.
Menjahit, menulis, online dan tetap mengaji membuat hidup saya merona.
Selain merona, kegiatan itu juga membuat saya bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah.

Pengalaman inilah yang kini membuat saya lebih baik menjauh dari lingkungan yang membuat saya tak nyaman, karena sadar, saya belum mampu mewarnai yang buruk menjadi baik, salah-salah saya yang akan terwarnai oleh aura buruk.
Menjauh dari orang-orang yang gemar berkomentar miring pada siapapun dan menghindar dari orang-orang bermulut tajam.
Kita diminta untuk saling menasehati dalam kebaikan, namun saya baru dalam tahap menghindar, karena saya memang belum mampu menasehati.
Maafkan saya yang belum pandai menasehati orang selain menasehati diri sendiri.
Semoga.

»»  Baca Selengkapnya...

Senda Gurau Semata

Gambar diambil dari sini
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (QS Al-Ankabut ayat 64).
Tiba-tiba saya kok ingat Firman Allah tentang kehidupan dunia yang digambarkan sebagai senda gurau ini ya?.

Jika mengerti kehidupan dunia adalah sendau gurau semata, maka tak seharusnya kita menghabiskan waktu hanya untuk sendau gurau bukan?.
Karena memang dunia bukanlah tempat untuk segala sesuatu yang hakiki, tak ada kebahagiaan terus menerus dan tak ada kesedihan berkepanjangan.

Saya pernah kesal tingkat kayangan saat ada yang menghina orang tua saya.
Lalu seorang teman menasehati,
"Hinaan mereka bukan berarti hinaan Tuhan bukan?".
Sebuah nasehat sederhana, yang mampu menurunkan tingkat kekesalan saya *jadi tingkat kelurahan*.
Sekuat hati menahan diri untuk tak melontarkan balik hinaannya.

Saya juga pernah sangat bahagia sampai ingin salto bolak-balik Pekanbaru-Bali. Namun usia kebahagiaan itu hanya sekilas, begitu mengetahui ibu saya meninggal, dunia seakan runtuh.

Memang rasa yang paling mendamaikan adalah saat kita merasa bukan orang yang sempurna, sebagaimana mereka-mereka yang ada di sekitar kita.
Dengan menyadari tak ada yang sempurna selainNYA, membuat kita menjadi mudah memaafkan, bahkan mengabaikan rasa kesal.
Kemudian pada akhirnya dapat melihat pada diri sendiri dan sekitar kita bagai sebuah kelas yang penuh dengan pelajaran untuk lebih baik.
Membuat kita lebih banyak diam untuk menyimak daripada sibuk berkomentar. Membuat kita lebih banyak bertanya pada diri sendiri apakah yang saya lakukan seperti yang dia/mereka lakukan?, menilai baik dan buruk perilaku kita sendiri, meluruskan niat kembali.

Merenungi kembali tentang dunia yang digambarkan sebagai tempat bersenda gurau, maka sangatlah merugi jika kita tukarkan akhirat kita dengan senda gurau.
Namun akhirat juga tak dapat "dibeli" dengan mengabaikan dunia.
Karena dunia hanyalah senda gurau, maka kita tak perlu berebut, memaki, menjegal untuk meraih dunia.

Saya tak pandai menasehati. Tulisan ini saya posting sejatinya untuk menasehati diri saya sendiri, untuk tak menukar kebagiaan sejati dengan sekedar senda gurau.
Semoga

Wallahu'alam.



»»  Baca Selengkapnya...

Dia Hidup pada Zaman yang Berbeda dengan Zamanmu


Kecuali nabi Adam, semua manusia adalah anak dari orangtuanya. Begitu pula saya. Saya telah mengalami fase menjadi anak, dan berharap secepat mungkin Allah berkenan memberi saya fase berikutnya, sebuah peran yang telah saya tunggu sekian lama, menjadi ibu yang melahirkan anak dari rahimnya.

Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”, begitulah nasehat Umar bin Khatab, salah seorang sahabat nabi Muhammad.
Sebuah nasehat yang masih dan akan tetap sesuai dalam segala era.
Karena kehidupan selalu berubah, mengalir, bertumbuh, maka zamanpun juga begitu, berubah. Bahkan kadang saya menyadari betapa cepatnya zaman berubah.

Ibnul Jauzi dalam kitab Tanbihun Na’ilmil Ghamir ala Mawasimil ‘Umur membagi fase kehidupan manusia dalam 5 fase, yaitu fase :
1. Dari lahir hingga baligh ( kira-kira usia 15 tahun).
2. Dari baligh hingga akhir usia syabab (35 tahun).
3. Dari usia 35 hingga 50 tahun.
4. Dari usia 50 hingga 70 tahun.
5. Dari usia 70 tahun ke atas.
Ada beberapa fase dimana kita butuh panutan, diantara sekian banyak panutan, yang paling dekat adalah orangtua kita.

Jika ditanya apa harapan saya (sebagai anak) kepada orangtua?. jawabnya sederhana, saya ingin orangtua saya bahagia dunia akhirat. Sebuah jawaban sederhana yang ternyata sangat rumit dalam penerapannnya.
Orangtua saya bukanlah orangtua yang sempurna, sebagaimana saya juga merasa bukan anak yang sempurna. Bagaimanapun ketidaksempurnanya orangtua saya, saya tetap merasakan mereka adalah pasangan yang paling mengerti saya, orang yang paling saya percayai, orang yang paling saya cari ketika saya ingin bercerita, orang yang paling cepat membuat saya menangis jika mengingat jasanya dan orang yang paling saya perjuangkan untuk tidak merasakan panasnya api neraka (karena merekalah, saya berupaya sekuat mungkin berusaha menjadi wanita sholehah, walau saya tahu itu adalah “titel” yang sangat sulit didapat, karena hanya anak-anak yang sholeh yang mampu “membebaskan” orangtuanya dari api neraka, begitulah ajaran dari apa yang saya yakini).

Meskipun saat SD saya sempat mengalami kecanggungan dalam berkomunikasi dengan ayah, Alhamdulillah, saat SMP saya merasakan kehangatan komunikasi dengan kedua orangtua.
Saya melewati masa ABG dengan aman dan menyenangkan karena saya mampu berbicara apa saja dengan orangtua.

Pengalaman ini ternyata tidak dialami oleh beberapa murid les privat saya.
Saya pernah hampir menangis (namun saya tahan, agar tak jatuh airmata), saat mendapati murid saya tak pernah dibelai oleh orangtuanya.
Ceritanya, saya seminggu tiga kali mendatangi sebuah rumah mewah untuk rutin mengajar les privat pada seorang anak kelas 6 SD, ternyata anaknya sedang menangis di kamar, tidak mau belajar. Saya katakan , “oke hari ini kita tidak belajar, tapi katakan pada miss, kenapa mas menangis?” (saya memanggil murid saya dengan panggilan mas/mbak). Lalulah berceritalah si anak SD ini, dia belum mempunyai seragam olahraga, sementara besok akan ada pertandingan olahraga. Sebenarnya seragam itu telah ada di sekolah, namun orangtuanya selalu lupa menitipkan uang baju olahraga tersebut pada anaknya, hingga saat pertandingan menjelang.
Saya belai anak itu, dan saya tawarkan solusi agar dia menelepon gurunya, menanyakan rumahnya dimana, agar saya bisa mengantarkan uang seragam olahraga, sehingga keesokan paginya seragam itu sudah bisa dipakai. Ternyata murid saya ini tidak mempunyai nomer telepon gurunya, sehingga semakin keraslah tangisnya. Tidak banyak yang bisa saya perbuat kecuali menenangkannya sambil membelainya.
Setelah tenang, anak itu berkata pada saya “Miss, ternyata dibelai itu enak ya, rasanya menenangkan”. LHO???? Jadi mas tak pernah dibelai? OMG!

Pengalaman di atas adalah sepenggal kisah bahwa anak-anak butuh komunikasi yang hangat, menenangkan, menyenangkan dan memberi solusi baik. Bukankah komunikasi bukan hanya secara verbal?, tatapan mata yang ramah, senyum dan pelukan juga merupakan komunikasi.
Maka harapan terbesar saya bagi para orangtua adalah menyediakan diri untuk menjadi orang nomer satu yang akan selalu bersedia mendampingi anak dalam situasi apapun. Menyediakan diri untuk mendengar dan merespon dengan baik.

Mengapa harus ada komunikasi hangat antara orangtua dan anak?
Keluarga, dimana orangtua dan anak berkumpul adalah tempat pertama yang diharapkan akan menumbuhkan fondasi yang kuat bagi anak. Jika fondasinya kokoh maka anak tak anak mudah ambles dalam pusaran pengaruh buruk.
Kapan harus ada komunikasi hangat?
Setiap saat, bahkan sejak akan melakukan proses pembuahan dalam rahim. Karena anak yang kehadirannya diinginkan dan diterima dengan ikhlas adalah landasan utama membangun kepercayaan diri seseorang.
Dimana komunikasi hangat dilakukan?
Dimana saja, jarak, ruang dan waktu bukanlah penghalang. Bahkan saat usia anak beranjak dewasa, komunikasi hangat antara orangtua dan anak harus tetap terjaga.
Mengapa harus komunikasi hangat?
Karena hangat itu adalah keadaan antara dingin dan panas. Kondisi tidak marah dan tidak tak peduli. Kondisi dimana komunikasi bukan seperti titah majikan pada pesuruhnya. Komunikasi yang menjembatani antara pendapat anak yang masih sedikit pengalaman hidup, dengan orangtua yang telah berpengalaman menjadi seusia anaknya.
Bagaimana caranya menciptakan komunikasi hangat?
Komunikasi hangat hanya bisa terbentuk dimana ada rasa saling percaya antara anak dengan orangtuanya. Rasa percaya yang dibangun dari pengamatan keduanya dalam keseharian. Orangtua yang gemar (atau tak sengaja) mengabaikan janji pada anak sulit dipercayai anak, maka tak heran jika anak kurang percaya pada orangtuanya.
Orangtua yang penuh janji manis agar anak tenang, namun jarang memenuhi janjinya, membuat anak menilai perkataan orangtua tak bisa dipercaya.

Tentu saja masih banyak ya harapan anak pada orangtua (begitu pula sebaliknya), namun menurut saya pekerjaan besar selalu saja dimulai dari pekerjaan-pekerjaan kecil.
Jika kita sebagai anak, yuk kita bahagiakan orangtua selagi mereka masih ada mendampingi kita.
Jika kita telah menjadi orangtua, mari mendampingi anak-anak kita dengan bekal pengalaman kita yang pernah sebagai anak seusia mereka.

Semoga harapan anak pada orangtua dan sebaliknya akan terwujud tanpa harus melalui perdebatan sengit dan kekerasan.

Wallahu a’lam bishshawab
»»  Baca Selengkapnya...

Rasa Aman yang Tercederai

Gambar diambil dari sini


Saya biasa pulang pukul 23 setelah seharian beraktivitas di luar rumah, namun sejak ada berita gank motor yang meresahkan warga saya jadi khawatir untuk pulang larut malam.
Sebenarnya saya tak mengikuti berita tentang gank motor yang konon katanya brutal ini. Hingga saat saya mengantarkan pesanan baju salah satu pelanggan di malam hari (kalau tak salah sekitar pukul 21.30), pelanggan itu mengingatkan agar saya tak di luar rumah malam hari, karena tak jauh dari rumah saya telah terjadi penikaman yang (konon) dilakukan oleh anggota gank motor. Hadeeeeuuuh, saya langsung merinding. Memang sih, saya tahu, saya lebih baik tak keluar malam, apalagi saya perempuan, yang potensi mendapatkan kejahatan lebih banyak daripada pria. Sudah gitu, saya keluar tanpa didampingi laki-laki yang menjadi mahrom saya, yang bisa melindungi saya (soalnya kalau didampingi laki-laki yang bukan mahrom, sama saja mendekatkan diri pada kejahatan dan kemurkaanNYA, haram).
Sejak maraknya berita tentang gank motor yang brutal itu, saya tak lagi berani di luar rumah di malam hari. Paling lambat saya sudah berada di rumah pukul 21.

Setiap manusia membutuhkan jaminan rasa aman. Bahkan menurut saya rasa aman itu adalah rasa yang harus menyertai segala rasa yang  kita rasakan. Apapun kenikmatan hidup yang menghampiri kita, jika tak ada rasa aman, niscaya kita akan was-was dan gelisah, lalu apa yang dinamakan nikmat tak lagi utuh.

Manusia membutuhkan jaminan rasa aman dalam setiap situasi dan kondisi agar dia dapat maksimal menjalankan apa yang telah menjadi tugasnya dan dapat menikmati kebahagiaan tanpa rasa khawatir.
Namun kini saya merasakan makin hari rasa aman semakin menipis. Rasa aman semakin mahal harganya.
Saya yang sudah pernah dicopet, dijambret, dikenai pelecehan saat menggunakan angkot, dicuri saat rumah kosong, kini harus ditambah dengan bayang-bayang kejahatan gank motor. Sepertinya kejahatan malah eksis menunjukan dirinya dengan tanpa malu-malu.
Bukankah kita sering mendengar berita perampokan di bus yang dilakukan segerombolan anak sekolah?, pemerkosaan di angkot, kejahatan hipnotis, pencabulan oleh guru, penipuan dengan berbagai modus, dan seambreg kejahatan yang dengan terang-terangan mencederai rasa aman orang banyak.

Saya berharap aparat penegak hukum dan masyarakat berpadu untuk meminimalisir kejahatan. Namun jika harapan saya pada keduanya tak terpenuhi, kepada siapa lagi saya berharap?.
Akh ternyata saya hanya bisa berharap pada diri saya sendiri (seraya tetap berdoa agar dijauhkan dari segala macam kejahatan) untuk menjaga keamanan dan harga diri saya walau harus menerima pilihan yang tak mengenakan. Pilihan untuk tidak keluar malam, pilihan untuk melepas satu kelas yang saya ajar demi bisa pulang sebelum pukul 21, pilihan untuk tidak lagi menghadiri rapat (yang kerap di lakukan malam hari seusai bekerja)dengan teman-teman di beberapa komunitas, pilihan untuk tidak lagi mengantar baju pelanggan di malam hari.

Bagaimana dengan para pembaca?, apakah kalian pernah merasa terceradai rasa amannya?


»»  Baca Selengkapnya...

Sedang Senang Prakarya

Sebagian buku kiriman teman yang belum sempat kutamatkan
Akhir-akhir ini sedang malas membaca, buku bacaan pemberian dari teman menumpuk, belum satupun yang tamat. Buku setebal 500 halaman biasanya kubaca hingga tamat dalam jangka waktu 3-5 hari, kini buku setebal 200 halaman saja nyeleseinnya seminggu.
Padahal aku setiap hari selalu membaca, sebenarnya sih senengnya baca majalah wanita, tapi majalah wanita cepet banget kubaca, paling lama 2 jam dah habis, kadang iklan kecil-kecilpun kubaca juga. Makanya aku lebih suka beli buku, lebih irit. *teteup pakai prinsip hemat bahagia*

Sekarang ini lagi senang-senangnya bereksperimen bikin jamu dan masker dari bahan alami hasil browsing atau nyoba pakai resep sendiri.
Dari bikin jamu kunyit asam (klo ini sih rutin kubuat sejak jaman dahulu kala), jamu pelangsing (pengen langsing sih), masker wajah dan masker tubuh (dari campuran madu dan minyak zaitu, sampai yang terbaru adalah masker badan dari telur dan minyak zaitun).
Masker badan hasil racikan sendiri, terdiri dari telur dan minyak zaitun yang bikin heboh. Bau amis telurnya susah hilang dari badan, belum lagi aku kan harus berdiam diri di kamar mandi (tanpa baju tentunya) selama 15 menit agar masker meresap, dingin ciiiiin. Untuk menghilangkan bau amis telur, aku harus berendam di air hangat hasil rebusan daun pandan, sirih dan serai. Baru deh harum mewangi

2 botol dan lulur hasil racikan sendiri
Jika biasanya di malam hari aku menulis atau membaca buku, kini lebih sering bikin prakarya, prakarya apa aja, dari njahit baju, bikin bros dari kain perca atau seperti sekarang, sedang menyelesaikan kristik

Kristik yang sedang kukerjakan. Gambar kucing dan ulat kecil.
Kalau teman-teman pembaca sekarang sedang senang-senangnya ngapain?
Berbagi yuuuuk

»»  Baca Selengkapnya...

Hweeeng, Wink, Bruk, Sreeeeeeet



Hari itu hari kedua puasa Ramadhan 1433 H, saat dimana aku merencanakan menghabiskan waktu dengan menulis beberapa postingan untuk lomba. Koneksi internet di rumahku sangatlah lambat, kupikir daripada menghabiskan waktu dengan koneksi yang membuat emosi jiwa, maka lebih baik jika aku menuju warnet lalu mencari informasi yang kubutuhkan dan menyimpannya di flash disc.

Maka dengan riang gembira aku memacu motorku, kendaraan yang sangat kuandalkan untuk membantu pekerjaanku. Belum sampai 1 km dari rumahku tiba-tiba aku merasa melayang *wiiiink*, jatuh *BRUK* dan diseret oleh motorku *sreeeeet* cukup lama. Setelah motor berhenti, aku belum paham kenapa aku bisa terjatuh dari motor dan terseret lebih dari 5 meter. Yang kurasakan bahu kananku sangat sakit, betis mulai terasa panas karena menempel di knalpot. Beberapa pengendara yang melewati jalan itu menolongku, mereka menegakkan kembali motorku, tapi aku tak sanggup berdiri. Aku meminta tolong pada seseorang untuk menegakkanku. Seingatku 3 orang yang menolong itu adalah laki-laki semuanya. Pemuda yang menolongku sangat santun. Aku yang tadinya berpikir dia akan menarikku ke atas dengan cara meletakkan tangannya di pangkal lengan (ketiak), ternyata dia menyisipkan kedua lengannya di antara tubuh dan tanganku, tepatnya dibawah ketiak dan mengangkatku perlahan. Aku yang saat itu sedang kesakitan masih bisa merasakan betapa dia menghormatiku sebagai wanita dengan tidak meletakkan tangannya sebagaimana jika kita akan mengangkat seseorang. Karena itu sungguh dekat dengan (maaf) payudara, dan pemuda itu mengetahui ada cara mengangkat tubuh wanita dengan lebih sopan.

Aku masih bisa berjalan dan aku diminta sejenak duduk di pinggir parit yang kering, yang kurasakan adalah kesakitan yang amat sangat di bahu kananku. Aku belum sadar jika gamis yang yang kupakai dan tas yang kubawa sudah robek di sana-sini akibat kerasnya gesekan dengan aspal.
Sejenak aku bertanya, apa yang menyebabkanku hingga begini?, ternyata di jalan yang senantiasa kulewati itu sedang dibangun polisi tidur, yang sialnya berwarna sama dengan aspal dan tidak diberi tanda. Aku yang percaya diri telah mengenal jalan itu, karena sehari-hari melewatinya tentu saja tidak menyangka jika tiba-tiba ada polisi tidur yang baru dibangun malam sebelumnya.

Untuk sejenak kusyukuri bahwa aku tidak menabrak orang, kemudian aku mulai merasakan akan pingsan, mual dan entah apa rasanya, yang pasti aku sangat ingin berbaring dan tidur *ciri-ciri orang mau pingsan*
Singkat cerita, aku telah berada di rumah, kemudian diantar papa dan tetangga sebelah pergi ke tukang urut. Karena tangan kananku tak bisa digerakkan dan di siku terdapat luka yang cukup besar, maka kuputuskan untuk menggunting lengan gamisku, agar tak menyakiti lukanya.
Selama pengurutan, selain kesakitan aku juga merasa tidak nyaman, karena aku tidak diurut di kamar khusus, tapi di satu ruangan cukup besar dimana anggota keluarga tukang urut bebas lalu lalang di situ. Aku yang kesehariannya mengenakan jilbab, tentu saja merasa risih. Sudahlah gamis yang kukenakan robek di sana sini, lalu aku diharuskan melepas pakaian hingga dibawah dada untuk memudahkan pengurutan.
Jiah!! Ini namanya pornografi.., untuk itu aku hanya mau diurut sebentar, dan gak balik lagi ke tukang urut itu, walaupun dia memintaku untuk kembali selama 3 hari.
Untuk selanjutnya aku menjalani fisioterapi.

Mulailah hari-hari yang penuh kesulitan menerpa. Aku yang biasa mengerjakan sendiri semua tugas rumah tangga dan pekerjaanku, kini untuk mengikat rambut saja aku tak mampu, dan parahnya papakupun tak bisa mengikat rambutku…duh benar-benar frustasi deh kalau sudah urusan ngikat rambut. Maka aku akan sangat berterimakasih jika ada temanku yang kerumah, pastilah dia kuminta untuk mengikat rambutku.
Sampai hari ke lima aku hanya bisa mandi ala kadarnya, nggoreng telur, dan mengenakan kemeja. Untuk urusan mengenakan baju dalam, itu perlu perjuangan sekuat tenaga.
Yah begitulah kuasanya Allah yang telah menciptakan tubuh kita, satu sendi bergeser sedikit saja, semua urusan jadi berantakan. Untuk itu hai manusia jaga dan syukurilah kesehatanmu *sok menasehati*.

Alhamdulillah pada hari ke tujuh, aku sudah mampu mengendarai motor kembali, walau belum pulih 100%, karena aku belum bisa mengangkat tanganku, jadi jika akan pegang stang motor, tangan kiriku membantu meletakkan tangan kananku ke stang, untungnya siku, pergelangan tangan dan jari-jari bisa bergerak bebas tanpa rasa sakit.
Tujuan pertamaku adalah salon, bayangkan sodara-sodara, aku tidak keramas selama seminggu, bisa dibayangkan kan gimbalnya rambutku, mana gak pernah di sisir pula.
Sampai di salon langsung creambath, ueeeenak tenan.

Sepulang dari nyalon, aku langsung ngurusi jahitan. Memutar otak bagaimana caranya agar semua jahitan yang menumpuk ini dapat selesai tepat waktu. Seperti biasanya, jahitan menjelang lebaran bejibun, jadi tidak ada kata lain selain, cepat kerjakan!.
Syukurlah, 3 hari menjelang lebaran, baju para langganan telah selesai semua.

Kini aku sudah pecicilan lagi, mengerjakan semua tugasku. Kondisi tanganku tak lagi seperti dulu, masih ada rasa sakit jika tidur miring ke kanan, karena bahu terhimpit tubuh. Namun apapun yang terjadi hanya rasa syukur yang kupanjatkan, karena selalu ada hikmah di setiap kejadian. Hikmahnya apa?...ya banyak. Aku sih suka-suka hati aja nyebutin hikmahnya, kadang gak nyambung ma kejadiannya, karena kan tujuanku nyari hikmah agar aku tetap tenang dan menikmati hidup dengan anggun, gembira, cerah ceria.
»»  Baca Selengkapnya...

Melarikan Becak Pak Yo

Fotoku zaman TK dengan Pak Yo, sang pengayuh becak langgananku

*Postingan ini diikut lombakan di giveaway *

Siang ini Pekanbaru diguyur hujan yang cukup deras. Sambil masak rendang untuk persiapan puasa Ramadhan, kusempatkan untuk online. Eh tak disangka tak dinyana, mak bendhudhuk, mataku menatap sebuah post di facebooknya Emak-emak Blogger, wow ada lomba menulis dan hadiahnya menarik sodara-sodara.
Hehehe terus terang aku ingin hadiahnya , tapi wong namanya lomba, ya harus ngikutin syarat-syaratnya kan? *Kalau hadiah gak pakai syarat itu namanya pembagian sembako gratis*.
Untunglah syaratnya adalah menulis pengalaman lucu saat masih kecil *eh, walaupun sekarang besarku hampir menyamai kulkas 2 pintu, tapi yakinlah, dulu aku juga pernah kecil lho…SUMPAH! *.
Untuk tidak berpanjang mukadimah, mari kita mulai saja kisah masa kecilku.

Aku lahir di Madiun, sebuah Kabupaten di Jawa Timur, saat ayahku  ditugaskan di kota tersebut.
Menurutku  Madiun saat itu adalah kota kecil yang nyaman, dengan kehidupan yang berjalan tidak tergesa-gesa.
Rumahku dikelilingi banyak area yang semuanya kami anggap bisa untuk tempat bermain. Diseberang rumah ada sungai, sawah, ladang tebu, pasar dan tanah lapang. Tak jauh dari pasar ada kuburan dan terminal bis.
Lingkunganku pun dihuni oleh orang-orang dengan beragam profesi. Tetangga sebelah kanan rumah adalah pasangan dosen dan guru SMA dengan 7 orang anak. Rumah sebelah kiri dihuni keluarga muda yang kepala keluarganya bekerja di bank. Lalu ada pula tukang becak, karyawan pabrik, pedagang dan lain-lain. Ayahku sendiri seorang anggota TNI Angkatan Udara.
Karena zaman aku kecil belum ada permainan internet, nitendo dan sejenisnya *duh jadi ketahuan deh aku lahir di zaman dinosaurus *, maka permainan kami lebih banyak melibatkan teman, seperti permainan gobak sodor (gak tau nih Bahasa Indonesianya gobak sodor apa?), delikan (petak umpet), dakon (congklak), bekelan dan “berpetualang”.
Permainan yang paling kusukai adalah “berpetualang”  *harus pakai tanda petik, karena bukan petualangan yang sebenarnya*.
»»  Baca Selengkapnya...

Bekerja

-->

Seorang teman, yang bekerja sebagai editor menulis di sebuah note bahwa bekerja adalah perjalanan menjelajahi relung terjujur hidup kita.  Tanpa itu kita hanyalah robot.
Yup! Benar, bekerja dengan jujur menjadikan kita “manusia”, ada rasa ingin menjadi lebih baik, lebih baik dan lebih baik lagi. Dalam bekerja ada semburat rasa pegal yang kemudian tertutupi oleh rasa lega saat apa yang kita maksud terwujud. Tidak seperti robot yang bekerja hanya untuk menghasilkan suatu produk tanpa ada sentuhan rasa.

Bagi saya bekerja adalah sebuah kebanggaan dan kepuasan. Kebanggaan bagi diri sendiri, bukan untuk dibanggakan pada orang lain. Puas karena saya bahagia dan nyaman dengan pilihan saya.

Syukurlah saya dilahirkan dan dididik oleh orang tua yang bukan pengejar citra di mata orang. Karena kami paham, citra akan datang sendiri saat kita tidak melawanNYA. Begitu pula dengan pilihan pekerjaan.
Saya yang dari SMP sudah menginginkan bisa menjahit, memilih sekolah menegah atas dengan pelajaran jahit menjahit sebagai pelajaran utamanya.  Sekolah yang saat itu dipandang sebagai tempatnya anak buangan, anak dengan nilai NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang tidak mencukupi untuk masuk sekolah negeri, maka larinya akan ke sekolah itu.
Saat itu NEM saya diatas rata-rata nilai NEM untuk dapat masuk sekolah negeri, tapi saya tetap memilih untuk sekolah jahit menjahit, dan orangtua mengijinkan.
Walaupun banyak komentar miring saat itu,
“Untuk apa sekolah menjahit?”,
“Nilainya rendah ya?, tidak mencukupi masuk ke SMA negeri ya?”, sampai yang paling ekstrim saat orangtua dipandang tidak pandai mengarahkan saya. Karena menurut saja saat saya memilih sekolah anak buangan tersebut. Hal terakhir ini yang menyakitkan hati. Tidak ada anak yang ingin orangtuanya dihina bukan?. Alhamdulillah Almh mama saya hanya berkata begini “Yang akan menjalani hidup ini adek (panggilan mama pada saya),  bukan orang yang berkomentar. Yang tahu dirimu adalah kamu dan orangtuamu, melebihi semua orang yang mengaku lebih tahu kamu daripada dirimu sendiri”.
Hiyes!!! Orangtua hebat bukan?, tidak sibuk dengan komentar orang dan tak membebani anaknya dengan pencitraan. #sungkempadaortu


»»  Baca Selengkapnya...

Miss Universe Tidak Naik Motor di Siang Bolong

SUMPAH!!! ini bukan foto saya (walau mirip saya )

Perempuan di belahan dunia manapun menginginkan mempunyai fisik yang sempurna, kulit halus mulus, rambut tebal mengkilat, gigi putih bersih. Hal yang wajar bukan?, siapa sih yang tidak ingin tampak sempurna?.
Begitu pula saya.  Dengan kemampuan saya yang terbatas, saya mencoba semaksimal mungkin merawat tubuh, hingga mendekati seperti yang saya inginkan. Sebisa mungkin saya menghindari matahari siang, menempelkan masker ini dan itu yang dipercaya bisa meningkatakan kelembaban dan kelembutan kulit, luluran, minum jamu dan usaha lainnya.
Saya menganggap manusia wajib menjaga tubuh dan jiwanya sendiri, dan salah satu usaha menjaga raga adalah seperti tersebut diatas.

Namun dalam kenyataan hidup, ada banyak perempuan tak mampu menolak untuk menjadi tidak terawat. Saya melihat bagaimana seorang ibu 1 anak, mungkin usia 23-an tahun, tubuh dan wajahnya hitam legam, kusam. Ibu itu seorang pengumpul sampah plastik, yang setiap hari menyusuri jalanan berdebu dengan membawa karung besar sebagai wadah sampah plastik yang dipungutnya. Ibu tersebut memakai bedak dingin, sehingga wajahnya coreng moreng oleh bedak dingin, mungkin bedak itu luntur disana-sini akibat keringat.
Pemandangan tersebut saya lihat sebagai upaya ibu itu merawat kecantikan ditengah susahnya mencari sesuap nasi.

»»  Baca Selengkapnya...

Bukan Sekedar Nilai Kepraktisan.

Dalam kehidupan yang semakin menyita waktu untuk mengurus banyak pekerjaan, maka tak pelak lagi kepraktisan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat. Jika dulu orang harus mengantri di bank untuk mengambil uang, kini cukup menuju ke ATM.
Banyak kepraktisan ditawarkan produsen agar konsumennya merasa lebih mudah dan nyaman untuk mendapatkan produknya.
Namun benarkah semua yang berlabel praktis adalah cara terbaik dalam kehidupan kita?

Kisah di balik penulisan post ini adalah saat beberapa orang teman menilai saya telah memilih melakukan hal yang hanya buang-buang waktu saja. Menurut mereka sebaiknya saya me-laundry saja pakaian-pakaian tersebut daripada harus capek mencuci, apalagi saya mencuci secara manual dengan tangan, bukan memakai mesin.
Menurut mereka, ada pilihan yang lebih praktis, lalu menggunakan tenaga saya untuk hal yang lebih berguna dari hanya sekedar umbah-umbah (mencuci baju, bahasa Jawa).

»»  Baca Selengkapnya...

Perempuan Harus Hemat dan Bertangan Seribu

-->

Seorang teman ngetweet begini  : “Laki-laki fokus di satu pekerjaan di satu waktu, dan perempuan melakukan beragam pekerjaan di satu waktu”.
Kalimat itu bisa benar, bisa juga tidak. Namun karena saya adalah seorang perempuan, maka saya hanya bisa menulis dengan pandangan saya sebagai perempuan.

Ketika pindah ke Pekanbaru (sebelumnya saya tinggal di Madiun, Jawa Timur), kami tidak mempunyai  pembantu. Hal ini dilakukan atas nama penghematan pengeluaran. Maka Almh mama membagi tugas pada saya dan abang. Saya bertugas menyapu rumah, menyiapkan peralatan makan saat waktu makan akan tiba dan harus bisa mencuci/setrika baju sendiri. Pekerjaan itu saya lakukan saat duduk di kelas 5 SD. Yang tadinya saya hanya mencuci/setrika baju sendiri, guna menghemat deterjen dan listrik, maka jadilah saya sebagai tukang cuci/setrika seluruh baju anggota keluarga (kecuali baju papa, karena berat dan besar).

»»  Baca Selengkapnya...

Mimpiku (bagian2)


Aku ingin punya kebun kecil di halaman rumah, sederhana saja, seperti ini, agar bisa menanam tomat dan selada, juga kemangi, makanan kesukaanku.



dan perpustakaan kecil di rumah, kira-kira seperti ini.

Sebenarnya gak persis kayak gini sih, pokoknya ada satu pojok ruangan  yang bisa kupakai leyeh-leyeh dengan di buku-buku di sekitarku. Gak mewah, hanya rak buku biasa saja, dipenuhi dengan buku-buku yang kugemari.
Pojok yang juga  bisa kupakai untuk bergelut dengan hobiku, menjahit dan membuat craft dari kain. Whooooooo *mbayangin

Mimpi yang sederhana.
tidak menyalahkan orang yang mempunyai mimpi besar, aku pun mempunyai mimpi besar yaitu bahagia dunia akhirat.
Namun kali ini posting mimpi "kecil" yang semoga terwujud  dalam waktu dekat.

Amin.
»»  Baca Selengkapnya...

Keburu

-->

Beberapa hari lalu seorang muridku yang duduk di kelas 4 SD bertanya, benarkah jika masuk kamar mandi harus kaki kiri dahulu?.
Kujawab “Ya”.
Lalu dia bertanya lagi, “Mengapa harus kaki kiri dulu miss?”.
Maka kuterangkan tentang konsep Sunnah dalam ajaran agama kami.
Kemudian berlanjutlah pembicaraan kami tentang hal-hal kecil yang bernilai besar, ada banyak pekerjaan kecil dengan hukum sunnah, yang berarti pahala.

Sepulang mengajar, aku kembali memikirkan, apakah aku sudah maksimal meraih pahala sunnah?.
Okh jawabannya sungguh mengecewakan. Jika dihitung memakai prosentase, mungkin aku mengerjakan hal-hal sunnah hanya 10%. Sungguh memprihatinkan.
Kucoba menghitung berapa pahala sunnah (yang kuketahui) yang ada dalam kegiatanku sehari. SubhanaLlah…buanyaaaaaaaaakkkkkk sekali. Dalam Islam, segala pekerjaan yang diniatkan hanya karena Allah lalu didahului doa sebelum mengerjakannya sudah bernilai pahala, belum lagi jika kita mengerjakan adab-adab yang lain, misalnya mendahulukan kaki kiri saat memasuki kamar mandi, mendahulukan kaki kanan saat keluar atau saat memakai sepatu/sandal, duduk saat minum/makan dll.

Iman memang bagai timba dalam sumur, kondisinya naik turun. Jika harus turun, maka sebaiknya membawa perbaikan kala kembali ke atas. Itulah mengapa kuibaratkan seperti timba dalam sumur, ketika timba diturunkan dalam keadaan kosong, kita merasa ringan saja melakukannya, seperti halnya saat kita malas mengerjakan hal-hal yang seharusnya kita kerjakan dan memilih mengerjakan yang mubah daripada mendahulukan yang sunnah, terasa ringan, sesuka hati kita mengerjakannya, namun seharusnya saat kita “sadar”, kembali ke atas, kita membawa ilmu yang mutlak harus diterapkan. Hal ini saya ibaratkan bagai menarik tali timba yang telah sarat air, berat memang, namun kita mendapatkan air yang menyegarkan.
»»  Baca Selengkapnya...

Aku dan Sahabat

-->

Salah satu hal yang paling  kusyukuri dalam hidup ini adalah saat diperkenankanNYA untuk mempunyai sahabat-sahabat yang istiqomah berjalan di JalanNYA.
Dari beberapa sahabat, aku bisa mengambil banyak pelajaran, berbagi suka dan duka.
Seperti contohnya, sahabatku sejak masa SMU sampai sekarang. Yenti namanya. Aku mengenalnya saat pertama kali mendaftar sekolah di SMKK.
Saat kelas 1 kami satu kelas kemudian berpisah di kelas 2 dan 3.
Aku dan Yenti selalu masuk ranking 3 besar *tsaaah, nyombong*. Banyak cerita yang kami alami. Misalnya saat aku tergila-gila dengan guru PMP yang selain pinter, juga berwajah bak potomodel, Yentilah orang pertama yang mencium gelagat lebayku dan dia pula yang rajin mengirim informasi tentang “Pak PMP” tersebut. *(me)malu(kan) kalau mengingat masa itu*.
Aku juga sedih tiada tara saat Yenti yang memutuskan mengenakan jilbab lalu mendapat tekanan dari beberapa guru dan kepala sekolah (karena saat aku setingkat SMA, peraturan sekolah tidak membolehkan siswanya memakai pakaian dengan model berbeda dari yang telah ditentukan sekolah. Diawal tahun 90an memakai jilbab memang belum sebebas sekarang). Hampir setiap minggu dia dipanggil ke ruang kepsek, “dinasehati” agar tidak lagi mengenakan rok panjang dan kemeja lengan panjang. Belum lagi untuk beberapa mata pelajaran, dia tidak boleh mengikuti jika masih mengenakan jilbab. Yenti memilih keluar kelas, duduk di dekat jendela agar dapat mendengarkan penjelasan guru. *haduh jadi pengen nangis kalau ingat kejadian itu*

»»  Baca Selengkapnya...

Bulu Mata Takut Matahari


-->
-->Ini pengalamanku 2 tahun lalu. Pengalaman bodoh van konyol.
Setiap wanita pastilah ingin terlihat cantik, untuk itu banyak yang dengan suka rela mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk mendapatkan ukuran cantik yang seperti dia harapkan.
Tak jarang juga untuk cantik kita-kita para wanita ini rela menahan sakit, misalnya agar terlihat langsing maka maksa deh pake korset yang ukurannya sengaja dipilih 1 angka lebih kecil dari ukuran yang semestinya. Iya sih, perut terlihat agak kecil tapi jadi susah bernafas.

Nah aku yang menjunjung  tinggi tampil cantik alami, ternyata pernah juga tergoda untuk cantik tidak alami *halah bahasanya*, alias cantik maksa
Sejak SD aku diajari (Almh) mamaku membuat jamu,lulur,creambath sendiri. Semuanya dibuat dari bahan alami. Jadi untuk urusan perawatan tubuh & rambut, kami melakukan sendiri di rumah. Saat (Almh) mamaku masih ada, aku ke salon hanya untuk potong rambut, itu pun kadang-kadang, karena lebih sering
(Almh) mamaku yang memotong rambutku. *jadi kangen Almh mama *

»»  Baca Selengkapnya...

Aku dan Mimpiku (bagian 1)


Dalam beberapa postingan di blogku ini aku ingin menceritakan beberapa mimpiku (baca : harapanku).
Namun kali ini aku ingin berbagi (baca : bercerita) tentang “Mimpi serial”ku. Mimpi yang benar-benar mimpi *ikh bahasanya mbuled akh*, bukan mimpi dalam arti harapan atau keinginan. Maksudnya aku akan bercerita tentang mimpi dalam tidurku yang kurasa kok seperti sinetron Tersanjung yang episodenya sampai 200.

Mimpiku ini (sepertinya) berawal pada bulan Desember *perlu diketahui, aku jarang sekali bermimpi saat tidur*.
Seperti biasanya, sepulang mengajar privat pukul 21.00, masuk rumah, mandi, oleskan krim malam anti aging *tsaah*, baca buku sebentar, lalu ketiduran *ngorok*, dan terbangun sekitar pukul 2 dini hari. Nah sebelum terbangun itulah aku bermimpi *ya iyalah, mimpi kan pas lagi tidur*, mimpi tentang sebuah rumah yang aku gak tau itu rumahnya siapa. Udah gitu aja. So aku gak terlalu menganggap aneh mimpi tersebut. Beberapa hari kemudian aku bermimpi tentang rumah itu lagi, kali ini aku melihat beberapa orang keluar dari rumah tersebut, tapi tetap aja gak tahu siapa saja orang-orang yang keluar dari rumah tersebut. Yo wes, berlalulah mimpiku itu seperti angin berhembus. Eh lha kok keesokan harinya aku mimpi rumah itu lagi, lagi dan lagi. Walau tak setiap hari aku bermimpi tentang rumah dan penghuninya itu, tapi mimpi itu yang sering  kali hadir dalam tidurku.
»»  Baca Selengkapnya...

Ember Bukan Sebagian dari Iman (Tempat Transit)

“Mbak, tolong lihat inbox”
“Mbak lagi sibukkah sekarang?”
Dua kalimat diatas adalah isi sms yang sering dikirimkan teman yang ingin curhat.
Menjadi tempat curhat adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Selain saya merasa mereka percaya pada saya untuk tidak ember (ember adalah sebutan bagi orang ang suka membocorkan rahasia), juga melalui curhat mereka, saya bisa banyak belajar.
Saya mengibaratkan diri sebagai tempat transit, tempat dimana seseorang berhenti sejenak untuk menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Ada banyak macam curhat yang sempat mampir kepada saya.
Ada yang curhat tentang hubungan dengan keluarganya yang tak harmonis, ada istri yang curhat tentang kelakuan suaminya, ada juga yang curhat tentang ulah tentangganya, bahkan ada juga yang curhat tentang perekonomian mereka. *curhat yang terakhir, saya tidak bisa banyak membantu*
»»  Baca Selengkapnya...

Ibu Itu Cemburu Padaku.

Sebagai guru les privat maka sayalah yang mendatangi rumah murid untuk mengajar, bukan sebaliknya.
Rata-rata orang tua murid berpenghasilan besar. Uang bukanlah masalah bagi mereka.
Suatu hari salah seorang orang tua murid bertanya apakah saya masih mempunyai waktu luang untuk mengajar, karena teman orang tua murid ini berminat memakai jasa saya untuk mengajari anak-anaknya.
singkat cerita saya pun janjian dengan ibu calon murid, untuk datang ke rumah beliau.
Keesokan paginya saya datang ke alamat yang sudah diberikan ibu itu lewat sms.  Sebuah rumah mewah (paling mewah di komplek itu), dengan beberapa mobil berjajar rapi plus beberapa pembantu.
Saya pun bertemu dengan ibu calon murid, seorang ibu yang ramah, dan kemudian saya ketahui dia mempunyai beberapa usaha. Beliau meminta saya langsung mengajar hari itu juga.

»»  Baca Selengkapnya...

Fakta Kangen

Pernah merasa kangen atau merindukan seseorang?. Saya sering. Kangen pada teman, saudara atau kangen mengalami peristiwa-peristiwa yang sudah lampau.
Kangen, dalam khazanah bahasa yang saya ciptakan sendiri (jadi kalo gak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ya harap maklum), adalah : Rasa ingin mengulang suatu peristiwa yang pernah dialami atau ingin berjumpa dengan seseorang.
Kangen merupakan sensasi alami yang muncul karena adanya rasa gembira saat mengenang satu peristiwa atau mengenang seseorang.
Kangen itu misterius, kadang perlu diketahui, namun ada juga kangen yang lebih baik tidak diketahui orang lain.


Seringkali saya lebih menikmati sensasi kangen daripada berjumpa atau berusaha mengulang kembali peristiwa dengan orang yang saya kangeni.
Kangen itu jujur, dia muncul dengan sendirinya tanpa melewati kebohongan atau kepura-puraan.
Maka berbahagialah orang-orang yang dikangeni dan jadikanlah orang lain bahagia dengan rasa kangenmu.

Obat kangen itu apa?, berjumpa?, bisa jadi, tapi terkadang kangen hanya mampu terobati dengan menghadirkan sosok yang kita kangeni dalam imajinasi.
Saya sering sekali kangen pada (Almh) mama. Mendatangi makamnya ternyata tidak mampu menghalau rasa merindu itu. Maka saya menggunakan imajinasi, mengenang saat mama terbaring sakit, saya menyuapinya, memandikannya, mengenang kembali binar mata dan senyumnya.
Dengan berimajinasi kita mampu menghadirkan sosoknya tanpa harus diwakili oleh benda sebagai kenangannya.

Saya bahagia bisa menyatakan kangen dan mempunyai rasa kangen, karena saya anggap kangen adalah sinyal bahwa cinta masih bekerja. Sinyal bahwa hati kita belum membatu.
Maka nikmatilah kangen sebagai suatu anugerah, sebagai rasa.
Kangen menyimpan banyak kisah, di dalamnya teramu indah dan pilunya.

Wallahu’alam
»»  Baca Selengkapnya...
Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa