Tampilkan postingan dengan label Pengalaman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengalaman. Tampilkan semua postingan

Perjalanan (Postingan Terakhir di Tahun 2012)


Hobi saya selain membaca dan tidur adalah berjalan-jalan ke tempat yang belum pernah saya singgahi. Saya selalu menikmati, takjub bahkan terkejut saat mengetahui hal-hal baru serta kebiasaan orang di suatu daerah.
Sejak SMP saya gemar kirim surat ke Kedutaan Besar dari berbagai negara (saat itu saya sangat tertarik dengan negara-negara kecil di Eropa). Beberapa buku dan brosur dari berbagai Kedubes masih saya simpan hingga kini.
Mimpi saya ini, saya petakan dalam beberapa rencana dan langkah. Sangat tidak mulus dalam kenyataannya, dari yang tidak diijinkan orang tua untuk bepergian sendiri ke luar negeri, kendala waktu atau tabungan saya terkuras untuk hal yang lebih penting dan urgent. Mimpi ini masih saya pelihara hingga kini. Sebagai "pelampiasannya" saya ikut bergabung dalam komunitas Backpacker, berharap saya bisa memetik ilmu bepergian dengan baik dan benar (dan berbudget "miring" #penting).


Ini salah satu buku dari kedubes Hungaria yang masih saya simpan
Usianya dah berpuluh tahun, soalnya ngirimnya pas jaman jadul

Postingan kali ini bukan bercerita tentang keinginan saya untuk berjalan-jalan, namun ingin berbagi tentang perjalanan hidup.
Hidup kita tak ubahnya sebuah perjalanan panjang, yang memerlukan bekal agar perjalanan kita terasa nyaman dan aman.

Hidup kita saat ini sedang berada di penghujung tahun. Siap tidak siap kita akan menghadapi tantangan baru. Bilangan usia pun semakin berkurang. Apa yang telah kita perbuat pada bertahun-tahun kehidupan kita yang telah berlalu itu?. Sudahkah kita memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya?

Situasi ekonomi dan politik negeri ini memberikan sedikit gambaran eksternal yang pasti akan mempengaruhi kehidupan pribadi kita. Pengalaman, juga semestinya mengajarkan kita untuk semakin bijak menyikapi hidup dan kehidupan.

Lalu apa pula yang kita persiapkan di tahun yang baru?. Terompet?, kembang api?, pesta?, atau berkendara keliling kota tanpa mengindahkan keamanan?. Semoga pembaca sekalian bukanlah orang-orang yang mudah terseret dalam euforia tahun baru seperti kebanyakan orang ya.

Saya adalah salah satu orang yang seumur hidup tidak pernah mempersiapkan dan merayakan tahun baru dengan terompet, kembang api, pesta, bakar-bakaran (baik membakar jagung, ayam, petasan atau membakar menyan). Kami (saya dan keluarga) melewati tahun baru seperti hari-hari sebelumnya. Tidak pernah dengan sengaja menunggu datangnya pukul 24.00, kalau sudah ngantuk ya tidur, kalau masih ada pekerjaan ya kami kerjakan malam itu juga. Biasa saja.

Acara seperti itu bagi saya kok rasanya jauh dari manfaat ya?.
Halah! kan setahun sekali! Mungkin begitu dalih yang lain. Ya itu saya serahkan pada masing-masing pribadi. Sampai saat ini saya tetap memilih mengekspresikan semangat saya dengan menulis rencana-rencana, detail dengan langkah-langkah untuk mewujudkannya (dan tidak harus di penghujung tahun menuliskannya).
Alangkah indahnya jika semangat yang menggelora itu dijadikan bekal meniti langkah menggapai asa, mewujudkan mimpi dan harapan.

Apa resolusi teman-teman untuk tahun depan?. Melanjutkan rencana-rencana yang belum tercapai di tahun ini atau ada sebuah rencana besar?
Apapun rencana teman-teman, selama itu mengandung kebaikan, Insya Allah, Allah akan memberi kemudahan. Jangan lupa untuk senantiasa berikhtiar maksimal yang terbungkus dalam untaian doa.

Karena hidup tak ubahnya perjalanan, maka akan ada beberapa pemberhentian untuk mengevaluasi dan recharge.
Akan ada banyak kejadian yang diluar dugaan kita, ada banyak peristiwa yang membuat kita membelokkan langkah mencari jalan alternatif dan banyak lagi kejadian-kejadian yang membuat kita harus berpikir kreatif.
Semoga perjalanan yang kita tempuh adalah perjalanan dengan tujuan menggapai RidhoNYA.
Selamat menjalani perjalanan hidup, semoga berkah.

Wallahu a'lam

»»  Baca Selengkapnya...

Menikmati Sakit


Lebih dari seminggu aku tidak bekerja di studio jahit, sakit. Karena itu aku disarankan untuk istirahat.
Selama beristirahat di rumah, aku malah merencanakan banyak hal untuk kukerjakan. Mumpung bisa seharian di rumah.

Karena aku adalah orang yang tidak suka bermuram durja, gundah gulana sedih tiada tara, maka aku harus mampu menikmati apapun yang terjadi dalam hidupku.

                                                                          ***

Hari pertama.
Sakit membuatku malas bangkit dari tempat tidur *ssstt…(bacanya jangan keras-keras), aku bisa memuaskan kegemaranku, tidur*.
Hari pertama aku sukses menikmati sakitku dengan memuaskan tidur, walau sebentar-sebentar bangun karena pusing, tapi yang penting aku bisa tidur kapanpun aku mau. *puk-puk bantal*

Hari kedua.
Sudah mulai bisa turun dari tempat tidur, walau cuma pindah tempat, karena aku kembali berbaring di depan televisi. Badan tidak bergerak sebagaimana mestinya itu malah terasa tidak nyaman.
Karena tidak selera makan, tapi harus makan, maka aku makan kulkas, eh maksudnya aku berlama-lama di depan kulkas, mencari makanan yang kuperkirakan akan terasa enak di lidahku dan setelah kumakan perutku tak memutahkannya.
Di kulkas ada beberapa potong ubi ungu yang kukukus dua hari sebelumnya.
Wah dibikin puding mungkin enak ya?, mulailah aku mereka-reka bagaimana membuatnya. Maklum aku tidak suka memasak, aku hanya suka makannya saja.
Jadilah hari kedua aku membuat puding ubi ungu, dan berhasil teman-teman! *dunia harus tahu*
Yup! hari kedua sakit telah kulalui dengan keberhasilan membuat puding ungu nan cantik dan lezat *angkat dagu, busungkan dada*



Hari ketiga.
Aku masih merasa lemas, tapi keadaannya telah lebih baik.
Saat lihat rak sepatu, kok banyak kardus yang menumpuk ya?, mulailah aku membenahi kardus-kardus sepatu tersebut. Hickz, ternyata banyak sepatu yang kulitnya terkelupas karena jarang dipakai dan terlalu lama di dalam kardus.
Aku memisahkan mana sepatu yang masih bagus dan mana yang tak akan lagi kupakai (walau masih layak pakai). Tak sampai satu jam, dua rak sepatu telah rapi, 60% isinya telah berpindah ke dua tas plastik besar. Senang rasanya melihat rak sepatu yang bersih, isinya hanya 10 pasang sepatuku.
Sepatu yang masih layak pakai namun aku enggan memakainya akhirnya berpindah ke tangan yang mau menerimanya.
Hari ke tiga sakit malah membuatku ingin terus membersihkan rumah. Selain rumah terasa lebih bersih dan lapang, aku juga mulai belajar untuk tidak menambah tempat penyimpanan barang. Jadi menurutku akan lebih baik jika aku membeli sepatu lagi, maka harus ada sepatu lama yang “dihibahkan”, begitu pula barang-barang lainnya.
Sebelum tidur, aku telah mengagendakan besok adalah hari membersihkan semua lemari pakaian. Lemari orang tuaku dan lemariku sendiri.

Hari ke empat.
Aku segera memindahkan setengah isi lemari kami ke dalam beberapa tas plastik besar. Beberapa tas plastik inipun dengan sukses berpindah tangan.
Lega sekali rasanya melihat isi lemari pakaianku tak lagi berjejalan.
Hari ke empat sakit membuahkan niat untuk tak lagi koleksi baju, tas dan sepatu. Ternyata aku malah merasa bahagia saat melihat baju, tas dan sepatuku hanyalah yang sering kupakai saja. Dulu rasanya kok ketinggalan jaman banget kalau ke pesta tasnya dari itu ke itu terus. Sekarang rasa itu telah sirna, menguap entah kemana, mungkin juga karena pengaruh usia ya?. Sudah mulai “matang”, percaya dirinya lebih kuat tertanam, sehingga tetap PD walau memakai tas yang itu-itu juga.

Hari ke lima.
Aku membersihkan kamar jahit, hasilnya ada sat seprei katun yang sudah tak dipakai, kugunting kecil-kecil, kugunakan untuk lap. Mulailah aku mengelap kaca, ngelap perabot rumah tangga, hingga setengah dari seprei itu berpindah ke tempat sampah.
Hari ke lima sakit membuat kaca jendela kinclong.

Hari ke enam.
Hari ini kujadwalkan untuk membersihkan pot bunga, dan mengganti tanahnya. Jadilah aku angkat-angkat pot, mencampur tanah dengan pupuk kandang, lalu memasukkannya kembali ke dalam pot. Capek. Lalu aku kembali merasa pusing, hal ini (kuduga) disebabkan terlalu lama terkena sinar matahari (dari pagi sampai menjelang ashar terpapar matahari).
Hari ini kujanjikan pada diriku untuk lebih telaten merawat tanaman.
Oh ya tetangga sebelahku yang juga hobi bercocok tanam memberiku beberapa pot tanaman. Akh senangnya mempunyai tetangga yang baik *peluk*

Hari ke tujuh.
Hari ini aku menikmati liburan. Liburan kemana?, rahasia dunk #halah

Hari ke delapan.
Masih menikmati liburan.

Hari ke sembilan.
Masih menikmati liburan walau kedinginan.

Hari ke sepuluh.
Mulai mikir jahitan, dan langsung menuju studio jahit. Seperti kuduga, patnerku kembali menggunakan jasa tukang potong, dan hasilnya banyak yang perlu dibenahi. Seorang tukang jahit juga tiba-tiba merangkap jadi tukang potong karena aku tidak bekerja.
Kasihan patnerku, karena dia harus memberitahu ini dan itu pada tukang potong dadakan, dan ini tentu saja menyita waktu, padahal dia juga harus mengurusi pelanggan yang datang sekaligus membuat pola. Maka hari itu juga aku mulai memotong kain. Baru satu potong mulai pusing (padahal liburan 3 hari gak pusing). Akhirnya aku membawa pekerjaan ke rumah.

Hari ke sebelas.
Hari ini aku tak mau lagi beristirahat di rumah. Walau rasa pusing masih sering terasa, namun aku harus bekerja di studio jahit.
Yak! mulai hari ini aku sudah kembali memotong kain dan membuat pola. Kalau pusing, aku tiduran di studio jahit.

Untunglah aku sakit saat murid sekolah libur, jadi aku juga libur mengajar, sehingga aku bisa pulang ke rumah sebelum magrib dan menikmati waktu istirahat yang lebih panjang.

Meski sakit, jika dinikmati, bisa juga mendatangkan banyak manfaat.
Apalagi jika menjalani sakit dengan sabar, itu akan menggugurkan dosa-dosa kecil.
Terakhir, kita harus terus bertekad dan berupaya untuk sembuh. Sabar menanti kesembuhan akan memotivasi kita untuk tidak menyerah pada rasa sakit dan membuat kita “merasa sembuh” tidak hanya pada fisik, namun juga pada sisi spiritual.

Wallahu a’lam bishshawab
»»  Baca Selengkapnya...

Senda Gurau Semata

Gambar diambil dari sini
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (QS Al-Ankabut ayat 64).
Tiba-tiba saya kok ingat Firman Allah tentang kehidupan dunia yang digambarkan sebagai senda gurau ini ya?.

Jika mengerti kehidupan dunia adalah sendau gurau semata, maka tak seharusnya kita menghabiskan waktu hanya untuk sendau gurau bukan?.
Karena memang dunia bukanlah tempat untuk segala sesuatu yang hakiki, tak ada kebahagiaan terus menerus dan tak ada kesedihan berkepanjangan.

Saya pernah kesal tingkat kayangan saat ada yang menghina orang tua saya.
Lalu seorang teman menasehati,
"Hinaan mereka bukan berarti hinaan Tuhan bukan?".
Sebuah nasehat sederhana, yang mampu menurunkan tingkat kekesalan saya *jadi tingkat kelurahan*.
Sekuat hati menahan diri untuk tak melontarkan balik hinaannya.

Saya juga pernah sangat bahagia sampai ingin salto bolak-balik Pekanbaru-Bali. Namun usia kebahagiaan itu hanya sekilas, begitu mengetahui ibu saya meninggal, dunia seakan runtuh.

Memang rasa yang paling mendamaikan adalah saat kita merasa bukan orang yang sempurna, sebagaimana mereka-mereka yang ada di sekitar kita.
Dengan menyadari tak ada yang sempurna selainNYA, membuat kita menjadi mudah memaafkan, bahkan mengabaikan rasa kesal.
Kemudian pada akhirnya dapat melihat pada diri sendiri dan sekitar kita bagai sebuah kelas yang penuh dengan pelajaran untuk lebih baik.
Membuat kita lebih banyak diam untuk menyimak daripada sibuk berkomentar. Membuat kita lebih banyak bertanya pada diri sendiri apakah yang saya lakukan seperti yang dia/mereka lakukan?, menilai baik dan buruk perilaku kita sendiri, meluruskan niat kembali.

Merenungi kembali tentang dunia yang digambarkan sebagai tempat bersenda gurau, maka sangatlah merugi jika kita tukarkan akhirat kita dengan senda gurau.
Namun akhirat juga tak dapat "dibeli" dengan mengabaikan dunia.
Karena dunia hanyalah senda gurau, maka kita tak perlu berebut, memaki, menjegal untuk meraih dunia.

Saya tak pandai menasehati. Tulisan ini saya posting sejatinya untuk menasehati diri saya sendiri, untuk tak menukar kebagiaan sejati dengan sekedar senda gurau.
Semoga

Wallahu'alam.



»»  Baca Selengkapnya...

Ngoreti

Krim kaki dan body lotion yang dikoreti


Saya tidak menemukan padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang mendekati kata “Ngoreti”.
Ngoreti adalah kosa kata dalam Bahasa Jawa. Karena saya tidak dapat menjelaskan arti kata ngoreti dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD, maka saya akan memberi contoh apa sih ngoreti itu?.
Contohnya begini : Jika kita menuang sirup dari botolnya hingga sirup habis, maka akan kita dapati sisa-sisa sirup yang masih menempel di seluruh permukaan botol bagian dalam bukan?. Kemudian kita (baca : saya) akan melakukan aksi ngoreti dengan cara menuangkan sedikit air matang ke dalam botol lalu mengguncangnya hingga botol bersih dari sisa sirup dan kitapun mendapat setengah gelas sirup hasil ngoreti *panjang ya contohnya*.

Semalam saya baru saja ngoreti body lotion dan krim untuk kaki dari wadahnya. Tiba-tiba saya ingat salah seorang teman yang komentar “Ya ampuuuuun, kalau aku dah kubuang tuh”.
Hehehe, atas nama hemat pangkal kaya, ngoreti pangkal cantik, maka saya terbiasa mengoreti kosmetika saya hingga wadahnya bersih dari sisa kosmetik yang menempel. Lumayan lho, hasil ngoreti body lotion, bisa saya pakai untuk mengolesi kedua tangan dan kaki. Sedangkan hasil ngoreti krim untuk kaki, bisa untuk 5 kali pakai, karena krim itu kental dan pemakaiannya sedikit, hanya di tumit saja.
Sebenarnya bukan hanya atas nama hemat, namun lebih pada MENGHINDARI MUBADZIR.
Saya, salah seorang dari sekian banyak penduduk dunia yang keukeuh menghindari mubadzir, karena saya tidak mau jadi temannya setan (kan dalam Hadist dikatakan pelaku mubadzir adalah teman setan).
Saya pernah menulis di sini, dan di sana bagaimana budaya mubadzir yang telah mengakar dan menyebabkan kita kehilangan  sesuatu yang harusnya bisa kita manfaatkan.

Saya juga tidak melihat keuntungan dari membuang begitu saja (tanpa ngoreti dahulu isinya) wadah kosmetik. Justru dengan ngoreti, kita bisa meringankankerja alam untuk mendaur ulang.
Dengan ngoreti, yang kadang harus “merusak” kemasan/wadah, juga mengurangi potensi pemalsuan.
Sering kita dengar kosmetik yang dipalsukan dengan memanfaatkan wadah bekas, lalu mengisinya dengan kosmetik palsu bukan?. Yah walaupun para pemalsu itu bisa saja membuat kemasan baru yang sama, namun ada banyak kasus pemalsuan dengan menggunakan wadah bekas.

Menurut saya aksi ngoreti bukan tindakan yang mencerminkan perilaku hemat yang kebablasan alias pelit medit bin kikir. Beda jauuuuh temans (cari sendiri perbedaannya ya)
Dalam melakukan tindakan kita akan memilih hal yang terbaik. Jika membuang wadah dengan sisa yang masih menempel dipandang adalah hal yang paling baik, maka lakukan saja. *masih berpikir apa keuntungan membuang wadah yang masih bersisa*

Semoga kita semua terhindar dari sifat mubadzir.

Wallahu a’lam bishshawab

»»  Baca Selengkapnya...

Sak Dek Sak Nyet

Gambar diambil di sini


Almarhumah ibuku, semasa hidupnya sering berkata padaku “Kok senangnya sak dek sak nyet”.
Sak dek sak nyet adalah sebuah kosa kata dalam Bahasa Jawa yang artinya disaat mempunyai keinginan, saat itu juga harus dilaksanakan.

Dulu sih aku abai dengan julukan sak dek sak nyet, tapi akhir-akhir ini mulai kurasa Almh. ibuku benar menyematkan julukan itu padaku.
Bulan ini aku sering sak dek sak nyet (padahal seringnya kan dah dari dulu ya, baru nyadar sekarang)
Dimulai dari tiba-tiba ingin mencoba masker telur untuk tubuh. Kebetulan ada telur ayam kampung. Aku hanya ingin merasakan bagaimana sih kalau badan dimaskerin pakai telur?. Selama ini aku hanya memakai masker telur untuk wajah saja, hasilnya lumayan, lembut dan kencang *tsaah*.
Sebelum memecahkan cangkang telur, aku sudah berpikir, setelah maskeran harusnya mandi dengan air rebusan pandan dan sirih, untuk menghilangkan bau amisnya. Tapi ya karena sak dek sak nyet tadi, aku ingin maskeran saat itu juga, jadi aku tidak menyiapkan air rebusan pandan dan sirih.
Hasilnya??,Amis. Yup!, amis bau telur mentah, walau setelah maskeran aku mandi dengan sabun, tapi tetap saja masih tercium bau amisnya.
Jadilah saat itu juga, kira-kira pukul 21, aku bergelap-gelap ria ke kebun di belakang rumah untuk mengambil beberapa lembar daun pandan dan serai, lalu ke halaman samping untuk memetik daun sirih. Ketiga bahan tadi kurebus di panci besar.
Coba jika aku tidak sak dek sak nyet, pastinya aku tak perlu bergelap-gelap ria dan tidak tersiksa dengan bau amis .

Sekarang ini aku sedang gemar-gemarnya bikin pernak-pernik dari kain dan felt. Suatu malam, tiba-tiba punya ide membuat tas dari celana jins yang sudah robek di bagian pahanya. Malam itu juga aku mengerjakan, padahal beberapa bahan belum tersedia, seperti ritsleting untuk tas, kain perca dengan motif yang kuinginkan dan lain-lain.
Di studio jahit banyak sekali kain perca, namun karena ide ini muncul di malam hari, disaat aku sudah ada di rumah, maka yang ada hanya perca batik (karena aku selalu menyimpan perca batik di rumah).
Akhirnya tas dari celana jins jadi juga, namun aplikasinya kurang memuaskan karena warnanya kurang cerah, ini disebabkan oleh bahan aplikasi yang kugunakan memang tidak ada yang berwarna cerah. Jika aku mau menunggu hingga pagi, aku bisa mendapatkan bahan aplikasi yang kuinginkan di studio jahit.

Walaupun sak dek sak nyet tidak selamanya buruk (baiknya adalah orang yang sak dek sak nyet adalah pantang menunda mengerjakan suatu pekerjaan), namun merencanakan sesuatu berikut langkah-langkahnya tentu akan menuai hasil yang maksimal.

Hidup adalah lahan pembelajaran, tempat memungut hikmah, setidaknya dengan peristiwa tersebut, aku paham bahwa ada saatnya harus menahan untuk mengerjakan sesuatu, karena beberapa sebab. Jika ngeyel mengerjakan saat itu juga maka hasil yang didapat tidak maksimal.

Apakah pembaca juga pernah mengalami sak dek sak nyet?

»»  Baca Selengkapnya...

Gaji Suaminya Sedikit kaleee


Bertemu kembali dengan teman yang telah sekian lama tak bersua, selalu saja menyenangkan hati. Ingin tahu beritanya, melihat segala perubahannya, dan yang paling sering mengenang saat masih bersama.
Pertanyaan pertama di saat kita berjumpa teman lama biasanya, dimana domisilinya sekarang?, kemudian disusul dengan pertanyaan, anaknya sudah berapa?, masih kerja di tempat lama? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Saat berjumpa kembali, kita juga bisa melihat perubahan fisik dan gayanya.
Nah, suatu kali saya mendengar teman yang nyletuk, “Gaji suaminya kecil kaleee”, saat melihat teman lama kami yang kini tampilannya berubah. Dia yang dulu kulitnya putih, kini terlihat cukup gelap dengan raut wajah yang terlihat capek. Busananya juga terkesan kusam karena (sepertinya) sudah sering dipakai, sampai warna kainnya mbladus (pudar & terlihat kotor).

Kita memang cenderung gampang melontarkan komentar atas apa yang kita lihat dan dengar.
Padahal tidak semua harus dikomentari bukan?, dan tidak semua komentar harus di verbalkan.
Selain agak terkejut demi mendengar celetukan teman, saya juga mikir, kenapa sang komentator begitu gampangnya menuduh gajinya suami teman tersebut kecil?
Ternyata benarlah apa yang disebutkan dalam ajaran agama saya, bahwa masing-masing dari pasangan adalah “pakaian” bagi pasangannya. Pakaian berfungsi menutup yang seharusnya memang mesti ditutup, selain itu juga berfungsi sebagai identitas.
Pakaian sebagai sebuah identitas dapat kita ketahui saat seseorang mengenakan pakaian model tertentu atau seragam tertentu. Kita akan dengan mudah menebak profesi seseorang sebagai satpam jika dia mengenakan kemeja putih, celana dongker (blue black) dengan model tertentu.
Perempuan yang memakai jilbab, maka dapat dipastikan dia adalah muslimah, karena umumnya yang memakai jilbab adalah muslimah. Walaupun ini juga tak selalu benar. Adalakanya pemakaian  jilbab merupakan suatu aturan di suatu tempat, tak pandang apakah dia muslimah atau tidak. Namun bolehlah disebut bahwa jilbab adalah identitas ataupun pembeda perempuan muslim dari yang lainnya.

Jika seorang istri diibaratkan sebagai pakaian bagi suaminya, maka wajib hukumnya agar istri menampilkan citra yang baik bagi suaminya sehingga memperkecil peluang untuk “dihinakan”.
Seperti contoh kasus diatas, dengan mudah tuduhan suaminya bergaji sedikit meluncur dari mulut seseorang, bisa jadi karena dipikirnya suami teman tersebut tak mampu membelikan pakaian yang lebih layak dari pakaian yang sudah mbladus.
Memang setiap individu tak bisa seenaknya sendiri berlaku, selalu saja harus mempertimbangkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ada yang harus patuh dengan aturan karena status sosial yang disandangnya, ada pula yang harus meredam keinginannya karena jika dilakukan akan berdampak tak baik bagi yang lain. Namun diatas semua aturan yang membatasi, yang paling aman adalah memakai patokan AturanNYA sebagai “peta” hidup, sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan.
Mungkin baju mbladus itu nyaman dikenakannya.
Meskipun kita paham, tak patut menilai orang hanya dari pakaian yang dikenakannya, namun keseharian kita mengajarkan, bahwa kesan pertama adalah kesan yang tertangkap oleh panca indera. Sebelum kita mengenal orang lain, kita terlebih dulu membuat gambaran orang tersebut berdasarkan apa yang terlihat dan terdengar. Bagaimana pakaiannya, bagaimana intonasi suaranya, bagaimana gerak tubuhnya, bagaimana pandangan matanya dan bagaimana-bagaimana yang lain.

Kembali lagi ke teman berpakaian mbladus tadi, usut punya usut ternyata tuduhan bahwa suaminya bergaji sedikit itu salah lho.
Kulitnya yang dulu putih kini menjadi gelap bukan karena dia tidak mampu beli lulur, tapi karena kini dia menggunakan motor sebagai alat transportasi, dulu dia menggunakan angkot. Kalau angkot kan ada atapnya, jadi lebih terlindung dari panas, beda jika memakai motor, bagian tubuh yang tak tertutup akan cepat menghitam karena paparan matahari *pengalaman pribadi*.
Lalu wajah yang terlihat lelah, itu disebabkan kini aktivitasnya meningkat, selain mengasuh anak, dia juga masih bekerja. Kalau dulu saat kami bertemu kan belum mempunyai anak. Selain bodinya telah berubah karena melahirkan, tentulah aktivitasnya bertambah dengan mengasuh anak. Yang belum pernah mengasuh anak, cobalah barang setengah hari saja mengasuh balita sendirian, capeknya melebihi capek nyuci, setrika, masak. Percaya deh

Jadi ternyata tampil layak itu wajib ya sodara-sodara (deskripsikan sendiri kata “layak”nya ya).
Tidak hanya bagi wanita, tapi juga bagi pria. Jangan sampai menerima tamu dengan memakai kaos dalam, pergi kemana-mana dengan jaket butut yang nyucinya hanya setiap bulan purnama atau pergi kemanapun pakai sandal jepit. Senyaman-nyamannya sandal jepit, itu tak layak jika dipakai ke kondangan.

So, *nih wajib dibaca para suami*, jika istrinya minta biaya perawatan tubuh dan wajah, jangan pelit-pelit ya. Itu bukan hanya berguna bagi sang istri, tapi juga berguna menjaga (bahkan mendongkrak) citra suami.
Kok tulisannya terkesan “membela” wanita?, hehehe… saya kan wanita, belum pernah dan tidak ingin menjadi pria, jadi saya menulis ya dari sisi kewanitaan .
Begitulah pendapat saya, anda punya pendapat berbeda?, berbagi yuk.

Wallahu a’lam bishshawab
»»  Baca Selengkapnya...

Hubungan Jarum Pentul dan Kendaraan Umum

Aku sudah akrab dengan jarum pentul sejak SMP, karena aku memilih tata busana sebagai kegiatan ekstra kurikuler di sekolah.
Jarum dengan salah satu ujungnya terdapat bulatan kecil sebagai penahan agar jarum tak tembus seluruhnya pada kain ini ternyata juga berfungsi sebagai senjata saat aku di kendaraan umum.

10 tahun yang lalu aku adalah pengguna kendaraan umum.
Dan sungguh aku sangat tidak nyaman menggunakan kendaraan umum (khususnya kendaraan umum di daerahku).
Entah sudah berapa puluh kali aku mengalami hal hal yang menyebalkan dan menjijikkan.
Dari dituduh belum bayar oleh kernetnya yang lupa kalo aku dah bayar, kendaraan dipenuhi asap rokok, lama ngetem, musik yang berdentum memekakan telinga, duduk yg empet-empetan (berdesakan), copet dan beribu ketidaknyamanan lainnya.

Ketidaknyamanan yang paling sering kualami adalah "pelecehan seksual" (padahal penampilanku tak "mengundang", aku mengenakan gamis lebar, jilbab dan tanpa make up wajah).
Pertama kali aku mengalami kekurangajaran ini adalah saat aku pergi kursus akuntansi. Saat di oplet (sebutan untuk angkot di Pekanbaru) aku merasakan ada tangan menyentuh pinggangku, kupikir orang yg berniat mencopet, lalu aku bergeser, eh laki laki yang memegang pinggangku ikutan geser, dan bodohnya aku diam saja, karena aku takut (padahal aku kan korban, kenapa harus takut?).
Sejak itu aku bertekad untuk lebih berani demi harga diri dan demi memberi pelajaran pada yang kurang ajar padaku.

Kejadian kedua adalah saat di bis kota. Seorang laki laki setengah baya yang berdiri disampingku (aku duduk) menempelkan (maaf) alat kelaminnya ke lenganku, kukira karena bis penuh penumpang dan berdesakan, aku baru sadar ada yang janggal dengan posisi bapak itu setelah bis berkurang penumpangnya, lha kok bapak itu masih aja nempel di lenganku, kan bisa geser tho pak! . Whewh! langsung aja aku protes ke muka bapak itu. Ikh sebelnya dia cuma senyam senyum mesum *mentolo tak kepruki* lalu melenggang turun bis. Haydegh!

Nah setelah itu aku mengalami beberapa pelecehan lagi, tapi tetap aja gak ngaruh kalo aku protes, marah, bahkan pernah kupukul pake payung yg selalu kubawa (payung lipat). Semuanya menampakkan ekspresi tidak bersalah plus senyum (yang lebih mirip menyeringai) mesum. *menjijikkan sekali*

Trus saat aku naik oplet, kejadian ini berulang lagi, laki laki yang duduk disebelahku tiba-tiba meletakkan tangannya di pahaku, serta merta aku menepis tangannya dan berkata dengan keras (dg gaya bahasa Pekanbaru)
"Kurang ajar kali kau, megang-megang anak orang! Kau kira aku binimu?!! Pikiran kau tuh dah busuk!"...eh tanpa rasa dosa dia njawab gini
"Ngapa pulak aku megang-megang kau, kau tu yang ingin kupegang", lalu para temannya tertawa *ikh najong tralala dwech!*

Kupikir tidak efektif meredakan orang orang seperti itu dengan protes, marah dan menatapnya dengan tatapan tak suka.
Aku harus mencari cara lain untuk "menyadarkan" sekaligus memberi pelajaran pada orang tidak beradab seperti itu.
Terpikir olehku membawa jarum pentul sebagai "senjata". Jarum pentul selain mudah dibawa, juga mempunyai efek mengagetkan jika tertusuk dan tidak meninggalkan luka serius.

Jarum pentul kusematkan di tas, nah saat ada cowok yang tangannya tiba-tiba dipinggangku, tanpa bicara aku menusukkan jarum pentul itu ke tangannya (dengan tanpa ekspresi dan tidak banyak gerak), tanpa kuduga cowok itu terkaget seperti kesetrum dan melepaskan tangannya dari pinggangku, lalu cowok itu berkata "Kak! baek-baeklah! jangan nusuk", dan dengan kalemnya aku bilang gini
"Kalo tangan kau tak ke badan aku, tak mungkin kau tertusuk, kau tengok aku mencucuk-cucukkan jarum ke mana-mana? (sambil memperagakan menusukkan jarum pentul ke suatu objek), makanya jaga tangan kau tu". Cowok itu diam aja.
Wehehe,...berhasil! berhasil!.
Aku terus mempraktekkan hal ini hingga Alhamdulillah aku mampu membeli kendaraan sendiri sebagai alat transportasi, namun sebatang jarum pentul masih juga tersemat di tasku *buat jaga-jaga kalau naik kendaraan umum*

HIDUP JARUM PENTUL!! 
»»  Baca Selengkapnya...

Melarikan Becak Pak Yo

Fotoku zaman TK dengan Pak Yo, sang pengayuh becak langgananku

*Postingan ini diikut lombakan di giveaway *

Siang ini Pekanbaru diguyur hujan yang cukup deras. Sambil masak rendang untuk persiapan puasa Ramadhan, kusempatkan untuk online. Eh tak disangka tak dinyana, mak bendhudhuk, mataku menatap sebuah post di facebooknya Emak-emak Blogger, wow ada lomba menulis dan hadiahnya menarik sodara-sodara.
Hehehe terus terang aku ingin hadiahnya , tapi wong namanya lomba, ya harus ngikutin syarat-syaratnya kan? *Kalau hadiah gak pakai syarat itu namanya pembagian sembako gratis*.
Untunglah syaratnya adalah menulis pengalaman lucu saat masih kecil *eh, walaupun sekarang besarku hampir menyamai kulkas 2 pintu, tapi yakinlah, dulu aku juga pernah kecil lho…SUMPAH! *.
Untuk tidak berpanjang mukadimah, mari kita mulai saja kisah masa kecilku.

Aku lahir di Madiun, sebuah Kabupaten di Jawa Timur, saat ayahku  ditugaskan di kota tersebut.
Menurutku  Madiun saat itu adalah kota kecil yang nyaman, dengan kehidupan yang berjalan tidak tergesa-gesa.
Rumahku dikelilingi banyak area yang semuanya kami anggap bisa untuk tempat bermain. Diseberang rumah ada sungai, sawah, ladang tebu, pasar dan tanah lapang. Tak jauh dari pasar ada kuburan dan terminal bis.
Lingkunganku pun dihuni oleh orang-orang dengan beragam profesi. Tetangga sebelah kanan rumah adalah pasangan dosen dan guru SMA dengan 7 orang anak. Rumah sebelah kiri dihuni keluarga muda yang kepala keluarganya bekerja di bank. Lalu ada pula tukang becak, karyawan pabrik, pedagang dan lain-lain. Ayahku sendiri seorang anggota TNI Angkatan Udara.
Karena zaman aku kecil belum ada permainan internet, nitendo dan sejenisnya *duh jadi ketahuan deh aku lahir di zaman dinosaurus *, maka permainan kami lebih banyak melibatkan teman, seperti permainan gobak sodor (gak tau nih Bahasa Indonesianya gobak sodor apa?), delikan (petak umpet), dakon (congklak), bekelan dan “berpetualang”.
Permainan yang paling kusukai adalah “berpetualang”  *harus pakai tanda petik, karena bukan petualangan yang sebenarnya*.
»»  Baca Selengkapnya...
Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa