Hari ini adalah grand opening pusat perkulakan di dekat rumahku. Kebetulan hari ini aku belum bekerja di studio jahit setelah tiga hari terkapar karena HB rendah, maka kuajak tetangga sebelah rumah untuk sekedar melihat-lihat seperti apa sih pusat perkulakan yang lokasinya di seberang rumah kami.
Pusat perkulakan, supermarket dan mall bukanlah tempat yang kusukai, aku bukan orang yang memilih pusat perkulakan sebagai tempat rekreasi, atau sekedar jalan-jalan. Aku lebih suka menghabiskan waktu luangku dengan tiduran, membaca atau nyalon di rumah.
Dari rumahku, hanya dibutuhkan waktu satu menit menuju pusat perkulakan yang baru dibuka tersebut. Seperti pusat perkulakan pada umumnya, begitu masuk, kami telah disuguhi dengan pemandangan tumpukan kardus. Tempat ini lumayan luas dengan jarak yang memadai antara rak satu dengan satunya.
Dulu, saat pertama kali dibukanya pusat perkulakan di kotaku, ada banyak wacana tentang pengaruh dari toko “bergaya” seperti ini. Dikhawatirkan toko-toko penjualan sembako yang tak sebesar ini akan perlahan mati.
Pertama kali mendengar kata “Pusat perkulakan”, pikiran kita akan diarahkan pada penjualan barang-barang dalam partai besar. Misalnya membeli mie instan tak boleh per bungkus, namun harus satu kardus. Ternyata tidak, sama seperti toko-toko yang ada selama ini, boleh membeli satuan.
Dahulu aku pernah menuliskan tentang pasar tradisional versus supermarket disini.
Aku bukan ahli ekonomi, risetkupun tak mendalam, yang kutahu adalah, tetangga yang berjualan gula dan beras di dekat rumah akan bahagia jika aku tetap membeli beras, gula dan beberapa sembako padanya, tak lantas berpindah ke pusat perkulakan, walau harganya lebih murah.
Tak dapat dipungkiri, berbelanja di supermarket/pusat perkulakan lebih nyaman, tempat yang lebih luas, barang lebih beragam dan kitapun bebas memilih, membaca apa yang tertera dikemasannya dan tak sungkan jika harus berlama-lama untuk membandingkan harga/komposisi antara merk satu dengan merk yang lain. Hal ini tak akan kita dapatkan jika membeli di toko langgananku.
Namun hidup tak hanya melulu soal uang. Mungkin aku akan diprotes beberapa pembaca, jika tetap memilih membeli di toko langganan yang letaknya tak jauh dari rumah dan aku kenal dengan pemiliknya. Tapi aku punya alasan. Aku tetap membeli di toko langganan karena aku menempatkan diriku sebagai dia. Tentulah sedih jika pelanggannya berpindah ke lain toko hanya karena harga. Padahal keuntungan yang didapatnya hanya beberapa ratus rupiah per item. Bagiku, biarlah aku “merugi” sepuluh ribu rupiah per bulannya, namun aku menjadi salah satu api kecil yang tetap menghidupkan toko tersebut. Alasanku mungkin terlalu besar ya, namun bukankah sesuatu yang besar selalu dimulai dari yang kecil?.
Lho bukankah aku pernah menuliskan tentang perempuan yang mutlak harus berhemat?, wah berlawanan dong dengan sikapku kali ini?. Tidak!, aku tetap kekeuh untuk hemat, namun hemat itu kan bukan hanya sekedar membeli barang dengan harga murah?, ada banyak aspek dalam kehidupan yang mempengaruhi gaya berhemat kita. Jika atas alasan hemat kita enggan membagi kue yang kita buat ke tetangga, tentulah itu bukan hemat yang cerdas. Begitu pula denganku. Aku tak mau hanya menghemat uang sepuluh ribu rupiah per bulan, namun pelan-pelan membunuh usaha tetangga, atau minimal mengkerdilkan usahanya.
Pusat penjualan besar tak akan mati jika kita membeli barang di tetangga sekitar rumah, karena para penjual ini juga membeli di pusat perkulakan kok.
Aku lebih suka membantu yang disekitarku dahulu sebelum aku membantu menggelembungkan laba pada supermaket/pusat perkulakan besar.
Apakah aku anti supermaket/tempat perkulakan?, hehehe, tentu saja tidak. Tadi aku membeli biskuit rendah lemak dan body lotion di pusat perkulakan yang baru dibuka itu, karena tetanggaku tidak menjualnya.
Bagaimana dengan pembaca?
sama yo mbak, aku belanja lebih suka di tetanggaku aja
BalasHapusSelisih sedikit lebih mahal sih
Tapi gak harus nyetater motor, keluar bensin dan ngantre di kasir (itu yang bikin males)
coba naik sepeda ontel :D
Hapus