Gambar diambil dari sini |
Yup!..inilah hidup, penuh kata “harus”, dibumbui kata “kalau bisa”, “semestinya”, “sebaiknya” dan kata-kata lain. Tak pandai meracik bumbu kehidupan, bisa membuat hidup terasa hambar, tak enak, bahkan beracun.
Akhir dari semua usaha kita meracik bumbu-bumbu tersebut adalah rasa yang memanjakan lidah dan menyehatkan tubuh.
Dalam kehidupan, rasa yang memanjakan lidah adalah terciptanya sebuah harmoni.
Sebuah tatanan hidup yang tidak saling menyakiti, tidak saling berebut apa yang bukan haknya, tidak saling mengintimidasi atas nama apapun, dan banyak kata "tidak" lagi.
Perpaduan yang sesuai dari asamnya cuka, getirnya lengkuas, hangatnya jahe dapat memberi cita rasa yang pas di lidah. Begitu pula dengan hidup. Adakalanya kita harus meringis merasakan getirnya tuduhan orang, merasakan asamnya perlakuan teman atau kita tersenyum lebar saat merasakan manisnya keberhasilan.
Sudah Sunatullah, hidup selalu mempunyai dua sisi. Ada pujian, ada pula cerca dan hinaan. Semakin banyak dipuji, kemungkinan untuk dihina juga semakin banyak.
Dimanapun, cita rasa asli dari sebuah makanan akan lebih lezat dan menyehatkan daripada cita rasa artifisial. Kita tentu lebih suka menikmati sup dengan kuah kaldu yang dibuat dari rebusan tulang sapi, daripada kaldu yang dibuat dari campuran air dengan bubuk kaldu bukan?.
Begitu pula hidup, semakin banyak yang palsu, semakin tak indah dan tak menyehatkan.
Lihatlah bagaimana ribetnya orang yang bertingkah palsu, orang yang menyembunyikan bukti dari hasil jarahannya atas hak orang lain misalnya. Atau orang yang dalam hidupnya berjuang untuk mengumpulkan pujian manusia, maka sekuat tenaga berbuat apapun agar dipuji manusia, termasuk berbuat hal palsu, pura-pura. Mungkin orang semacam ini tak paham, bahwa disaat yang sama, kala manusia memujinya maka Allah memurkainya, karena palsu.
Dan menurut pengamatan saya (jadi jangan heran kalau beda dengan pengamatan lembaga survei manapun), banyak orang memilih berlaku palsu demi pujian manusia. Manusia dengan perilaku seperti ini biasanya secara sistematis merusakan alarm nuraninya sendiri. Pastilah saat dia melakukan kepalsuan untuk pertama kalinya, alarm nuraninya berdering, mengingatkannya untuk kembali ke jalan yang lurus, namun napsu untuk sebuah pujian menafikan dering alarm tersebut. Dan jika dilakukan berulang kali, maka alarm tersebut tak lagi berdering, rusak, karena keseringan berdering dan tak direspon.
Masih patutkah disebut manusia jika tanpa nurani?.
Maka upaya merusakan alarm nurani sama dengan upaya mensejajaran diri dengan mahluk dibawah manusia (tak perlu saya sebut nama mahluknya bukan?).
Tak ada yang bisa kita banggakan hidup diwarnai dengan kepalsuan, apalagi hidup dalam kepalsuan.
Yuuk kita paksakan diri untuk menjadikan kepalsuan sebagai yang sebenarnya. Jika kita ingin terlihat kaya raya akan harta, maka paksakan diri untuk menjadi kaya tanpa kepalsuan, jika kita ingin terlihat cantik, maka paksakan diri untuk terlihat cantik tanpa ada hal palsu yang disumpalkan.
Lho kok pake acara paksa memaksa sih?. Bukankah akan lebih baik memaksakan diri berbuat hal baik daripada bersenang dalam kepalsuan?
Wallahu a’lam bishshawab
Sesuatu banget pokoknya yo mbak...
BalasHapushahaha..pastinya ya Ran.
HapusKemana aja dirimu selama ini?
Berkunjung mbak'e.. Dan membaca.. *Lalu merenung*
BalasHapusterima kasih jeung ..*lalu makan*
Hapusass,,mkasih y mbak inspirasinya..salam kenal..
BalasHapusmampirlah ke blog aku,,:)