Gambar diambil dari sini |
Bekal makanan habis, udara panas, air susu tak keluar, hingga bunda Hajar tak dapat menyusui Ismail yang tak henti menangis. Diarahkannya pandangan ke berbagai arah. Usaha mencari air ia lakukan hingga ke bukit Shafa, namun hasilnya nihil. Secercah harapan akan mendapatkan air muncul saat bunda Hajar melihat gelombang air (yang ternyata hanya fatamorgana) di bukit Marwah. Maka berlarilah bunda Hajar ke bukit Marwah yang berjarak 420 meter dari bukit Shafa, namun lagi-lagi ia tak mendapati apapun di sana. Begitulah seterusnya hingga berulang kali.
Kelelahan fisik mendera, kepenatan mental pun datang. Bunda Hajar mengkhawatirkan bayinya yang kehausan. Namun harapan akan pertolongan Allah tak boleh menghilang.
Hingga saat itu tiba. Allah mengutus Jibril untuk memunculkan air dari bekas hentakan kakinya (atau sayapnya, seperti sebagaimana disebutkan di riwayat lain). Bunda Hajar dan Ismailpun dapat minum sepuasnya.
Dari kisah diatas, Allah memberi pelajaran kepada hambaNYA, bahwa tak ada manusia yang DIA cintai yang tak diuji. Dan Allah tak akan pernah menelantarkan hambaNYA yang percaya akan janjiNYA.
Surga Allah tak diperoleh dengan harga murah. Tempat tujuan akhir dari kehidupan manusia itu didapat dengan penuh ujian, penuh cobaan. Siapa saja yang tak yakin 100% pada janji Allah, maka tak ada ketabahan yang tersemat di hatinya.
Maka kita yang diuji dengan cobaan, diuji dengan musibah patut berkaca pada kisah bunda Hajar di bukit gersang tak berpenghuni tersebut.
Musibah memang menyakitkan, namun jika disikapi dengan benar dia akan menjadi stimulus yang akan memicu lahirnya energi batin yang akan menggerakkan jasad dan batin untuk lebih kreatif, lebih tabah, lebih berikhtiar hingga batas maksimal yang dapat dilakukan. Harapan dan ikhtiar memang selalu bergandeng, sebagaimana kisah bunda Hajar yang tak lelah berlari berulang dari bukit Shafa ke bukit Marwah.
Musibah atau cobaan boleh menguras habis waktu, tenaga dan harta kita, namun harapan harus selalu ada dan tersedia dalam setiap hembusan nafas kita.
Untaian harapan terbungkus doa dan ikhtiar kita rangkai, hingga dia kuat menggetarkan “langit”, menyetuh arsy Allah dan menurunkan RahmatNYA.
Kini pertanyaannya adalah, sudahkah doa dan harapan kita beriring dengan ikhtiar maksimal?, sudah 100% kah keyakinan kita akan pertolonganNYA?, seberapa kuat munajat kita hingga mampu “menggetarkan langit”?. Atau munajat kita hanya musiman?, yang hanya akan kita panjatkan ketika kita tak mendapatkan apa yang kita mau, lalu menghilang saat apa yang kita mau ada dalam genggaman?. Naudzubillah, jangan sampai munajat kita laksana debu yang akan terbang entah kemana sebelum sampai ke arsyNYA.
Wallahu a’lam bishshawab
Sabar, nanti indah pada waktunya
BalasHapushihihi