Menahan Diri

Gambar diambil disini

Hari Minggu kemarin pengajian kami mengadakan Liqo’ Syawal (semacam halal bihalal), jadi semua teman-teman pengajian tersebut tumplek blek ngumpul di satu tempat. Bertemu teman yang telah lama menghilang itu rasanya menyenangkan.
Saat saya baru mulai mengaji, saya satu kelompok dengan (sebut saja “A”), perempuan mungil, anak ke 8 dari 17 bersaudara , orang tuanya bercerai, tinggal di satu rumah berjubel dengan anggota keluarga lainnya.
Saya sempat kaget mengetahui jumlah keluarganya, kaget melihat rumahnya yang seperti tempat penampungan karena padatnya penghuni, kaget saat melihat seluruh penghuninya sangat akrab, sayang, perhatian satu dengan lainnya.
Setelah fase terkaget-kaget, saya malah senang bermain kerumahnya, hingga saat A menikah kemudian pindah rumah, sejak itu saya tak lagi bertemu dengannya, apalagi jadwal mengaji kami juga berbeda, karena beda tingkatan.
Sampailah hari minggu kemarin, setelah kurang lebih 5 tahun tidak bertemu, kami kembali bersua. Penampilannya masih seperti dulu, sederhana. Setelah ngobrol, dia meminta pada saya untuk mengajarinya menjahit. Saya pun menyetujuinya. Saya baru mengetahui pemilik perumahan mewah itu adalah A, setelah dia memberitahu alamat rumahnya, kemudian saya berkomentar "Wah masuk perumahan elit nih", lalu seorang teman mengatakan bahwa A adalah pemilik perumahan tersebut. Dan terulanglah fase terkaget-kaget dulu. kaget karena kagum dengan kesederhanaannya.

A bersama suaminya membangun satu kawasan perumahan kelas menengah atas, dengan jumlah rumah lebih kurang 300 buah. Perumahan ini terkenal di Pekanbaru. Yang saya catat dari pertemuan itu adalah dia sangat menahan diri dari sanjungan, dia sama sekali tidak ingin orang lain mengetahui bahwa dia adalah pemilik perumahan mewah. Bahkan  rumahnya adalah rumah termurah di kawasan tersebut.
Teman ini menahan diri untuk tidak memperlihatkan kehebatannya (bahkan terkesan menyembunyikannya) karena khawatir saat sanjungan datang akan membuatnya tinggi hati, dia memilih tidak populer demi menjaga keselamatan hatinya.

Kisah diatas menggambarkan bahwa dalam kehidupan ini kita akan menghadapi bermacam sikap dan penilaian orang terhadap kita.
Satu perbuatan, akan dipandang beragam oleh orang yang melihatnya. Pandangan, komentar maupun penilaian orang tentu berdasar banyak faktor. Faktor pendidikan, faktor latar belakang, faktor kedekatan pribadi, dll.

Bergaul dengan banyak orang memberi peluang kepada kita untuk banyak mengambil hikmah dan pelajaran.
Dari pergaulan kita akan mengenal secara nyata mana sikap baik, buruk, menyenangkan, meresahkan, mana yang membuat orang lain nyaman dan mana yang tidak, mana yang lebih sering mendahulukan buruk sangka dan mana yang memilih untuk berbaik sangka, mana yang rajin, mana yang pemalas, mana si pengeluh dan mana si optimis, mana yang ingin terlihat hebat, mana yang hebat namun tak ingin memperlihatkannya, mana yang sok tahu dan mana yang memang tahu namun tidak sok dan sebagainya.
Saya juga pernah mendapati orang yang saat diundang, dia enggan datang karena menilai si pengundang tidak selevel dengannya, marah saat dalam satu peristiwa dia tidak dilibatkan, merasa diabaikan. Sekuat tenaga dia memperlihatkan bahwa dirinya “berkelas” (pakai tanda petik ya), untuk itu dia wajib menonjol.
Beragamnya sikap orang lain yang kita temui ini seharusnya mampu membuat kita sadar, bahwa kita masih harus banyak belajar yang kemudian membuat kita tidak menjadi orang yang merasa paling tahu, paling baik, paling peduli, paling hebat  dan paling-paling yang lain.

Seperti tulisan-tulisan saya lainnya, tulisan ini sekedar berbagi opini dengan para pembaca daripada menasehati pembaca. Toh saya sendiri masih harus banyak belajar. Bukankah sepanjang hidup kita selayaknya tak berhenti untuk belajar?.
Semoga kita dihindarkan dari rasa tinggi hati, rasa paling tahu, paling hebat dan rasa merendahkan orang lain.

Wallahu a’lam bishshawab

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa