Jika ada toko lain yang menjual alat-alat jahit selengkap toko ini pastilah aku memilih membeli di toko itu. Walaupun harganya sedikit lebih mahal atau jaraknya lebih jauh dari studio jahitku.
Dalam seminggu, lima kali aku ke toko ini, toko alat-alat jahit yang pemilik sekaligus kasirnya adalah seorang laki-laki berwajah dangdut. Ya berwajah dangdut. Bukan seperti Rhoma Irama, Ona Sutra, Meggy Z atau penyanyi dangdut lainnya.
Aku memberi julukan lelaki berwajah dangdut karena kenorakannya. Gaya berbusana dan dandan yang dipilih untuk dikenakannya setiap hari mirip penyanyi dangdut yang pentas di acara kawinan di kampung sebelah.
Lelaki berperawakan sedang, kutebak usianya sekitar 48 tahun-an, berkulit hitam, berkemeja dengan motif norak- misalnya warna ungu motif bunga putih dan oranye-, kancingnya sengaja dilepas 3 biji, hingga dadanya yang gak ada sexy-sexynya sama sekali terlihat, lehernya dikalungi rantai segede rantai kapal dengan bandul sebesar kepalan tangan orang dewasa, jarinya dihiasi batu akik sebesar jempol kaki, celananya selalu tidak matching dengan warna kemejanya.
Lelaki berwajah dangdut itu tidak pernah mengenakan celana jins, selalu saja memakai celana hasil jahitan taylor entah di ujung bumi yang mana, sepatunya berwarna hitam (syukurlah bukan warna pink atau hijau pupus) dengan hak yang cukup tinggi untuk ukuran sepatu laki-laki. Sepatu yang sepertinya tak pernah tersentuh semir. Dan yang paling menakjubkan adalah dandanan rambutnya. Aku tak tahu dandanan rambut ini dicontohnya dari majalah apa (atau itu memang gaya rambut original ciptaannya sendiri?, entahlah). Rambut keriting yang dibiarkan gondrong sampai bahu (hanya sampai bahu, tak pernah lebih dari itu), diberi jambul. Bukan jambul ala penyanyi Syahrini atau jambul pelawak Gogon. Tapi jambul yang rada miring, tidak tepat di tengah kepala, sehingga seolah-olah terlihat kepalanya selalu miring. Mungkin ini efek visual.
Lelaki berwajah dangdut (aku bahkan tak tahu nama aslinya, walau telah belanja di toko ini lebih dari 5 tahun) itu memanggilku “Cantik’. Huuuddff panggilan yang membuat mulutku cemberut. Aku akan senang dipanggil “Cantik”, tapi bukan oleh lelaki berwajah dangdut itu!. Dalam seminggu, lima kali aku ke toko ini, toko alat-alat jahit yang pemilik sekaligus kasirnya adalah seorang laki-laki berwajah dangdut. Ya berwajah dangdut. Bukan seperti Rhoma Irama, Ona Sutra, Meggy Z atau penyanyi dangdut lainnya.
Aku memberi julukan lelaki berwajah dangdut karena kenorakannya. Gaya berbusana dan dandan yang dipilih untuk dikenakannya setiap hari mirip penyanyi dangdut yang pentas di acara kawinan di kampung sebelah.
Lelaki berperawakan sedang, kutebak usianya sekitar 48 tahun-an, berkulit hitam, berkemeja dengan motif norak- misalnya warna ungu motif bunga putih dan oranye-, kancingnya sengaja dilepas 3 biji, hingga dadanya yang gak ada sexy-sexynya sama sekali terlihat, lehernya dikalungi rantai segede rantai kapal dengan bandul sebesar kepalan tangan orang dewasa, jarinya dihiasi batu akik sebesar jempol kaki, celananya selalu tidak matching dengan warna kemejanya.
Lelaki berwajah dangdut itu tidak pernah mengenakan celana jins, selalu saja memakai celana hasil jahitan taylor entah di ujung bumi yang mana, sepatunya berwarna hitam (syukurlah bukan warna pink atau hijau pupus) dengan hak yang cukup tinggi untuk ukuran sepatu laki-laki. Sepatu yang sepertinya tak pernah tersentuh semir. Dan yang paling menakjubkan adalah dandanan rambutnya. Aku tak tahu dandanan rambut ini dicontohnya dari majalah apa (atau itu memang gaya rambut original ciptaannya sendiri?, entahlah). Rambut keriting yang dibiarkan gondrong sampai bahu (hanya sampai bahu, tak pernah lebih dari itu), diberi jambul. Bukan jambul ala penyanyi Syahrini atau jambul pelawak Gogon. Tapi jambul yang rada miring, tidak tepat di tengah kepala, sehingga seolah-olah terlihat kepalanya selalu miring. Mungkin ini efek visual.
Sebisa mungkin aku membayar dengan uang pas, menghindari berlama-lama dihadapannya menunggu dia mengambil uang kembalian pembayaranku.
“Selamat sore cantik, sudah belanjanya?,semuanya seratus enam puluh lima ribu, bayar saja seratus enampuluh ribu. Buat cantik abang diskon lima ribu, lumayan kan buat parkir” , Ujarnya, saat aku harus membayar belanjaanku.
Biarpun didiskon lima ribu, aku tak akan memasang senyum manis, cukup melebarkan sedikit bibirku, hingga membentuk garis lurus, mengurangi sedikit kecemberutanku.
Apa sih sebenarnya yang membuatku tak suka padanya?, bukankah dia baik, tak pernah kasar padaku?, apakah gaya dandanan yang tak sesuai seleraku itu yang membuatku selalu masam setiap kali bertatapan dengannya?. Bukan…bukan itu yang membuatku selalu berwajah masam bak jeruk nipis jika bertatap muka dengannya. Aku sangat paham, aku tak berhak memaksa orang lain untuk berdandan mengikuti seleraku, aku pun selalu berusaha menghargai orang, apalagi dia bersikap baik dan santun padaku.
Tapi tidak pada lelaki berwajah dangdut ini.
Dulu sikapku padanya tak seperti ini, hingga suatu sore saat hujan deras, aku terpaksa mengurungkan niat untuk pulang, padahal aku telah selesai belanja. Aku tak berani menembus lebatnya hujan dengan motorku.
Setelah membayar belanjaanku, aku meminta ijin pada lelaki berwajah dangdut itu untuk diperbolehkan duduk di tokonya hingga hujan reda. Lelaki berwajah dangdut itu tersenyum, hingga mulutnya laksana Kermit, (boneka kodok bermulut lebar) saking lebarnya dia tersenyum. Dia meminta salah satu pekerjanya membeli gorengan yang dijual tak jauh dari tokonya untuk menemani kami menunggu hujan reda.
Lelaki berwajah dangdut yang kupanggil “Pak”, tapi dia kekeuh memanggil dirinya sendiri dengan sebutan “Bang” bertanya ini dan itu padaku. Aku lulusan universitas apa?, aslinya mana?, kelahiran tahun berapa dan banyak lagi. Dan entah apa pasalnya, tiba-tiba saja dia bercerita betapa banyaknya wanita yang ingin sekali menjadi perempuan nomer satu di hatinya. Dia memperlihatkan beberapa pesan di Smartphonenya yang berisi ajakan beberapa perempuan untuk bertemu dengannya, bahkan ada beberapa yang mengajaknya lebih dari sekedar bertemu (tahu kan maksudku).
Aku semakin tidak merasa nyaman mendengarkannya. Topik itu adalah topik yang tak indah di telinga dan pikiranku. Topik yang minim manfaat bagiku.
Untunglah hujan mereda, walau masih rintk-rintik aku memutuskan untuk segera meninggalkan toko itu. Tapi uppsss..aku lupa, aku belum membeli minyak mesin jahit yang sudah tinggal satu botol di studio jahit. Segera kuambil sebotol di rak, lalu bergegas membayar. Tapi apa yang terjadi?, saat mengulurkan kembalian uangku, lelaki berwajah dangdut itu secepat kilat meraih tanganku, menggenggamnya erat, erat sekali. Sejenak aku terdiam karena terkejut, dalam hitungan detik aku tersadar. Kutarik paksa tanganku dengan pandangan melotot tak suka. Pandangan yang mengatakan “Kelakuanmu padaku tak sopan!”.
Lelaki berwajah dangdut itu malah tersenyum- lebih tepatnya menyeringai-. Sejak itu tak pernah lagi ada senyum di bibirku saat membayar.
Kupikir bahasa wajahku dapat dipahaminya, tapi yang terjadi bukannya meminta maaf padaku, justru menjadi-jadi. Setiap kali aku belanja ke tokonya, tak henti-hentinya dia memuji gamisku yang indah, tubuhku yang tinggi atau apalah, sekehendak hatinya saja, apa yang ingin dia puji.
Pujian itu di telingaku bagai pelecehan jika dia yang mengatakannya. Aku akan salto sampai Bali jika pujian itu dikatakan laki-laki santun dengan pembawaan yang berwibawa. Tapi tentunya laki-laki santun tak akan memuji perempuan dengan memasang tampang mesum bukan?. Tak seperti lelaki berwajah dangdut itu.
***
Udara sejuk, mentari tak segarang biasanya, aku menuju toko jahitan itu, setelah 1 bulan tinggal di Jakarta untuk mengikuti beberapa workshop.
Ada yang berbeda, tak kudapati lelaki berwajah dangdut di meja kasir. Baguslah.
Seorang laki-laki -mungkin usianya 35 tahunan- berbaju koko, memakai songkok haji, di dahinya ada dua lingkaran hitam-sepertinya tanda dia sering bersujud- menggantikan lelaki berwajah dangdut di meja kasir. Lelaki dengan raut muka tenang, tutur katanya lembut dan bicara seperlunya saja, tanpa basa-basi, apalagi tanya ini dan itu kepada para pembeli yang kebanyakan perempuan.
Tiga hari berikutnya aku kembali ke toko itu, si lelaki berwajah dangdut juga tak tampak. Rasa ingin tahuku mulai mengelitik, kemana gerangan?.
Kutanyakan pada pak Yusuf (aku mengetahui namanya, karena salah seorang pekerja menyebutnya begitu). Ternyata lelaki berwajah dangdut (yang kemudian kutahu namanya Makmur) telah meninggal dan dikuburkan di kampung halamannya di salah satu kabupaten di Sumatera Barat
“Ooh”, hanya itu yang keluar dari bibirku, tak ada rasa kehilangan. Biasa saja.
“Abang anaknya?”, kubertanya pada Yusuf
“Bukan, Pak Makmur tak punya anak ni (kependekan dari “Uni”, panggilan perempuan di Sumatera Barat), saya pengurus Panti Asuhan Barokah, dimana pak Makmur adalah donator tetapnya dan atas amanah beliau toko ini dihibahkan pada yayasan yang menaungi Panti Asuhan Barokah ni”
Aku terdiam, memoriku kumundurkan beberapa lama, mengingat lelaki berwajah dangdut.
Dibalik bandul kalungnya yang sebesar kepalan tangan orang dewasa, ada hati yang mulia.
Lelaki berwajah dangdut yang tak koar-koar menjadi donator tetap sebuah Panti Asuhan.
Kali ini aku tersenyum di toko itu, di depan meja kasir, senyum untuk lelaki berwajah dangdut yang telah tiada.
(Pekanbaru, 1 januari 2012)
*Cerpen pertama yang kupublish di blog*
mmmmm sebenarnya cerita apa ya?
BalasHapusdangdut? pria? studio? jahit?
whatever lah yang penting numpang lapak
@Enry Mazni > yang pasti bukan cerita tentang Enry...Enry kan tdk berwajah dangdut (tapi berwajah qosidah) #kalem
BalasHapuskata si lelaki itu, hai neng, sini mendekat pada abang *ala rhoma. btw, ko ga pernah kunjungan balik bu? :)
BalasHapus@yankmira > sapa bilang gak pernah....aku srg kok mask ke tempatmu say...tp gak pernah ninggalin jejak :)
BalasHapustenang aja say...aku suka baca tulisn teman2 di blog kok...apalagi blog diary
blogku juga gag dikunjungin *halaaah*
BalasHapusternyata dibalik wajahnya yang gag up-to-date itu tersimpan sebuah hati yang luas,untuk membantu sesama..
memang yah,dont judge a book by it's cover..
orang yang tampak baik didepan pun tak selamanya baik..
semoga menjadi bahan introspeksi bagi kita ;)
ehm....gimana ya komennya?
BalasHapusya smoga diterima dengan baik arwah beliau diSana..amien
dan tindakan anda benar.hehehehe
True story?
BalasHapusSemoga arwahnya diterima di sisi-Nya...
Semoga tokonya jadi ladang amal bagi dia. Semoga juga yang mengurus toko itu bisa melanjutkan usahanya, aamiin.
BalasHapus@Ranny >seep..jangan hanya baca sampulnya ya :D
BalasHapus@Yanuar >komentar apa aja, asal bermanfaat mas, trmksh telah mampir di blog saya
@Anazkia >CERPEN NAAAAZZZ...CERPEEEEEEENNN ,hhhrgg
@alris >Amin, tp ini hanya cerpen lho, bkn kisah nyata
Hmmm .... Di kembangkan saja mbak ... maksudku di jadikan buku cerpen. Dalam bayanganku ada beberapa bagian menarik yang bisa di kembangkan menjadi bab - bab. bisa di masukkan juga ke dalam bab tertentu yang menceritakan tentang yayasan itu. etc.
BalasHapusSalam kenal mbak. #huekkk
mantap
BalasHapusmantap,
BalasHapus@Agus > terimaksih sarannya mas, salam kenal kembali #huweek juga
BalasHapuskeren juga..ternyata mukanya aja dangdut tapi hatinya mulia ya.
BalasHapusapik mbak... iya bener memang kelakuan seseorang "tidak selalu" bisa jadi patokan jelek baiknya hati seseorang... mungkin memang dia "nakal" tapi ya itu tadi ternyata Tuhan masih memberi dia hati yg mulia...
BalasHapus@ Sang Cerpenis > heheh..jadi maluw nih, cerpen pertamaku dah dibaca dedengkot penulis cerpen :). Terimakasih mbak
BalasHapus@Ndop > Terimakasih mas Ndop....iya tak ada orang yang sempurna ya :)
terimakasih dah dibuatin header