Melarikan Becak Pak Yo

Fotoku zaman TK dengan Pak Yo, sang pengayuh becak langgananku

*Postingan ini diikut lombakan di giveaway *

Siang ini Pekanbaru diguyur hujan yang cukup deras. Sambil masak rendang untuk persiapan puasa Ramadhan, kusempatkan untuk online. Eh tak disangka tak dinyana, mak bendhudhuk, mataku menatap sebuah post di facebooknya Emak-emak Blogger, wow ada lomba menulis dan hadiahnya menarik sodara-sodara.
Hehehe terus terang aku ingin hadiahnya , tapi wong namanya lomba, ya harus ngikutin syarat-syaratnya kan? *Kalau hadiah gak pakai syarat itu namanya pembagian sembako gratis*.
Untunglah syaratnya adalah menulis pengalaman lucu saat masih kecil *eh, walaupun sekarang besarku hampir menyamai kulkas 2 pintu, tapi yakinlah, dulu aku juga pernah kecil lho…SUMPAH! *.
Untuk tidak berpanjang mukadimah, mari kita mulai saja kisah masa kecilku.

Aku lahir di Madiun, sebuah Kabupaten di Jawa Timur, saat ayahku  ditugaskan di kota tersebut.
Menurutku  Madiun saat itu adalah kota kecil yang nyaman, dengan kehidupan yang berjalan tidak tergesa-gesa.
Rumahku dikelilingi banyak area yang semuanya kami anggap bisa untuk tempat bermain. Diseberang rumah ada sungai, sawah, ladang tebu, pasar dan tanah lapang. Tak jauh dari pasar ada kuburan dan terminal bis.
Lingkunganku pun dihuni oleh orang-orang dengan beragam profesi. Tetangga sebelah kanan rumah adalah pasangan dosen dan guru SMA dengan 7 orang anak. Rumah sebelah kiri dihuni keluarga muda yang kepala keluarganya bekerja di bank. Lalu ada pula tukang becak, karyawan pabrik, pedagang dan lain-lain. Ayahku sendiri seorang anggota TNI Angkatan Udara.
Karena zaman aku kecil belum ada permainan internet, nitendo dan sejenisnya *duh jadi ketahuan deh aku lahir di zaman dinosaurus *, maka permainan kami lebih banyak melibatkan teman, seperti permainan gobak sodor (gak tau nih Bahasa Indonesianya gobak sodor apa?), delikan (petak umpet), dakon (congklak), bekelan dan “berpetualang”.
Permainan yang paling kusukai adalah “berpetualang”  *harus pakai tanda petik, karena bukan petualangan yang sebenarnya*.
Kami, sekelompok anak-anak, sekitar 7 orang, paling tua kelas 4 SD, aku sendiri masih TK saat itu, terinspirasi oleh buku Lima Sekawan, karangan Enid Blyton, melakukan petualangan. Tujuan kami hanya mencari hal-hal baru saja, sesuatu yang belum pernah kami alami.Petualangan di mulai dari berjalan ke tempat pembuangan sampah yang tak jauh dari terminal, kami berharap akan menemukan harta karun di antara sampah-sampah itu *ikh kalau sekarang disuruh ke tempat sampah itu, gak banget deh. Tapi saat itu aku asik-asik aja, gak terganggu dengan bau sampah, malah sibuk ngorek-ngorek sampah pakai sebatang ranting*. Ternyata kami tidak menemukan apa-apa kecuali sejumlah perangko. Perangko yang masih menempel di amplop kami lepaskan dan kami koleksi
*padahal perangkonya gak istimewa, karena perangko gambar presiden Suharto yang saat itu memang banyak beredar, namun sensasi mendapat perangko itu yang istimewa* .

Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke kuburan. Beberapa diantara kami takut ke kuburan, takut dimakan setan*yah namanya juga anak-anak, imajinasinya masih suka ngawur*, lalu si ketua petualangan (untuk selanjutnya akan kupanggil dengan nama “Sesepuh”) alias yang paling tua usianya diantara kami meyakinkan jika di kuburan itu aman jika kami berdoa dulu.
Maka berkumpullah kami untuk membaca doa. Dengan tanpa ragu aku langsung membaca doa sebelum makan. Lho kok doa sebelum makan?. Karena satu-satunya doa yang kuhafal saat TK adalah doa sebelum makan. Jadi kalau disuruh berdoa, pastilah doa itu yang kubaca. Gak masalah apapun peristiwanya, pokoknya kalo urusan berdoa maka doa sebelum makan adalah andalanku.
Saat petualangan itulah kali pertamanya aku masuk ke kuburan. Aku baru tahu suasana kuburan itu seperti ini tho. Ada nisan, ada banyak pohon kamboja dan pohon wuni *nah aku gak tau bahasa latinnya buah wuni itu apa, kalau ada yang belum tahu seperti apa buahnya, silahkan cari di internet ya*.
Buah wuni yang ranum bergerombol, menarik perhatian kami. Kami pun mencobanya, ternyata rasanya enak, asam-asam manis *sebenarnya sih dominan rasa asamnya, tapi kan perangai anak-anak kalau dapat buah hasil “perjuangannya” maka buah itu mendadak rasanya manis walau sebenarnya berasa asam*. Jadilah di kuburan itu kami memetik buah wuni yang kemudian kami masukkan ke kantong baju. Yang bajunya tidak ada kantong maka dimasukkan dalam “kantong ajaib”, yaitu kemeja/baju yang bagian pinggangnya dimasukkan dalam celana, lalu buah wuninya dimasukan melalui bagian leher, sehingga buah wuni tertampung dia baju dan tidak jatuh, karena bajunya tertahan oleh pinggang celana.

Setelah dari kuburan kami menuju pasar. Kami melihat banyak sekali orang berkumpul, kamipun ingin tahu dan segera menuju ke kerumunan itu. Ternyata sedang ada orang jual obat. Obat kudis, yang kata penjualnya sangat manjur. Obat ini kata penjualnya dibuat dari lemak ular dan beberapa ramuan rahasia. Obat ini masih kata penjualnya  diyakini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Bukannya mendengarkan penjelasan tukang obat, kami malah takjub melihat ular besar yang dikalungkan di leher penjualnya.  Saat itu aku menganggap si penjual obat adalah orang sakti, orang yang mampu menaklukkan ular dan tidak takut digigit ular. *yah lagi-lagi ini kan pemikiran anak-anak, jadi harap maklum saja kalau naif*
Setelah puas melihat ular, kami melanjutkan perjalanan, namun kami haus dan naasnya tak seorangpun yang membawa bekal air. Kami malas jika harus pulang ke rumah, lalu dicarilah cara untuk meredakan rasa haus. Sang sesepuh mengajak kami ke ladang  tebu, namun dengan satu syarat, tidak boleh berisik.
Maksudnya sih kami akan mengambil beberapa batang tebu, namun kami khawatir jika diketahui oleh penjaga ladang. Agar tidak banyak anak yang masuk ke ladang tebu, maka diputuskan untuk mengirim “utusan”, 2 orang laki-laki menyusup ke kebun tebu, dan mengambil 4 batang tebu, sisanya menunggu saja di kejauhan. Tak berapa lama kami sudah mbrakoti tebu. Sang utusan berhasil membawa 4 batang tebu yang kemudian kami kupas dengan gigi, karena kan kami tidak membawa pisau maupun benda tajam lainnya *itu membuktikan kalau gigi kami adalah gigi yang kuat * #alibi.
Setelah makan tebu curian , kami memutuskan untuk pulang.  Sebelum pulang, kami singgah ke rumah salah seorang teman yang ayahnya adalah seorang tukang becak. Aku dan 3 orang teman adalah pelanggan becak bapaknya. Setiap pagi Pak Yo (nama bapak pengayuh becak) menjemput kami berempat untuk diantar ke TK, begitu pula siangnya, pak Yo menjemput kami dari TK dan mengantar pulang ke rumah masing-masing.
Seingatku becak zaman dulu lebih besar dan lebih tinggi dari becak sekarang, karena dulu 1 becak muat 4 anak TK, 3 orang duduk diatas, 1 orang duduk di tempat kaki, sehingga kaki penumpang menjuntai ke jalan, namun tak sampai menyentuh jalan.
Melihat becak yang nongkrong di depan rumah, kamipun ingin mencoba mengayuhnya. Hohoho… sepertinya menyenangkan. Mulailah 2 orang teman laki-laki mencoba mendorong becak tersebut. Dan apa yang terjadi sodara-sodara???,  ternyata becak itu sangat berat dan tanah dimana becak itu kami dorong adalah tanah landai.  Karena tak sanggup menahan laju becak, 2 orang teman yang mendorong becak itu melepaskan becak tersebut, kontan saja becaknya melaju tak terkendali. Kami pun berlari ketakutan, takut Pak Yo mengetahui dan marah. Anehnya temanku yang merupakan anak Pak Yo juga ikut berlari, katanya sih dia juga takut dimarahi bapaknya.

Setelah becak berhenti karena terguling, kami mencoba menegakkan kembali dan mendorongnya ketempat semula, namun tak diduga, Pak Yo muncul dari dalam rumah dan melihat becaknya sedang didorong 7 anak manis nan menggemaskan.
Kami ketakutan, tapi tidak lagi berlari, hanya menunduk sambil terus mendorong becak.
Oh ternyata pak Yo hanya tersenyum melihat kami kesulitan mendorong becak. Pak Yo menolong kami mendorong becak menuju tempatnya semula sambil menasehati kami agar tidak lagi bermain dengan becaknya, karena kami masih belum kuat mengayuh becak.
Huuufff *ngelap peluh*, lega rasanya karena tidak dimarahi.

Keesokan harinya saat Pak Yo dengan becaknya menjemputku untuk  diantar ke TK, beliau berkata “Hayo siapa yang kemarin melarikan becak Pak Yo?”…hehehe..aku hanya tersenyum.

Aaahhh…masa kecil yang  penuh rasa ingin tahu, masa yang indah untuk dikenang. Aku puas dengan masa kecilku, karena kini aku belajar dari pengalaman-pengalaman itu.
Pengalaman bergaul dengan orang dari berbagai strata sosial tanpa membedakan. Belajar tentang kebersamaan, belajar  tentang tempat-tempat baru dan tentu saja belajar mendorong becak

Saat kelas 5, aku pindah ke Pekanbaru, karena ayahku dipindah tugaskan.  Aku sempat kehilangan kontak dengan “Para petualang” ini, sampai akhirnya setelah lebih dari 20 tahun terpisah aku sempatkan mampir ke kota Madiun. Ternyata anak Pak Yo masih menempati rumah itu dan meneruskan profesi ayahnya sebagai tukang becak. Akupun diajak berkeliling dengan becaknya, mengunjungi tempat-tempat dimana aku sering bermain bersamanya dahulu.
Kini dengan adanya media sosial, aku dapat menemukan beberapa teman berpetualangku di internet.
Pengalamanku di masa kecil membuatku ingin kelak *jika diijinkan Allah mempunyai anak* mengajarkan pada anak-anakku tentang indahnya bermain bersama teman, bukan hanya asik bermain dengan benda.
Karena ada banyak hal yang didapat dan dipelajari saat kita berinteraksi dengan orang lain.


                                                                              ***

Mak, @windakrisnadefa, ane ikutan giveaway-nya ye,mak!Kasih ane hadiahnya yang satu paket kosmetik dari Oriflame atau tas tangan imut dari NikoNikoShop.



10 komentar:

  1. pantesan... kecilnya aja udah kek gini, apalagi skrg... :p

    BalasHapus
  2. kalo anak zaman sekarang - apalagi yang hidup di kota besar - disuruh nulis pengalaman masa kecil, pasti kalimat ini tidak akan ada: "seperti permainan gobak sodor (gak tau nih Bahasa Indonesianya gobak sodor apa ya?), delikan (petak umpet), dakon, bekelan....
    sudah hilang dari kamus mereka....amat disayangkan...

    semoga menang ya....

    BalasHapus
  3. @kang Iman > maksudnya kecilnya dah cantik, apalagi besarnya....pasti lebih cantik, gitu kan kang? ..iya kan?? kan? #maksa
    @bang Budi > yup, syukurlah aku mengalami masa indah itu, sekarang sih sepertinya anak lebih sibuk dengan permain individu, bukan yang melibatkan banyak anak dalam 1 permainan.

    BalasHapus
  4. jadi ingat masa kanak-kanak yang begitu lugu dan polos tanpa noda #halah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. bhahahaha...pakai deterjen anti noda ya masa kecilnya?

      Hapus
  5. tp permainan tradisional skrg udah langka & bikin kangen loh...

    Itu usil bgt sih negdorong2 beca.. haha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak permainan yang melibatkan banyak orang seperti zamanku kayaknya sekarang dah jarang dimainkan.
      hehehe..pengen ngrasain ngayuh becak itu rasanya bagaimana

      Hapus
  6. wahahahahaaa, kocaaak...seru banget sih kecilnya....ckckckckck... :))))
    makasih ya udah ikutan #GABlogEMakGaoel...
    kamu dapat nomor urut 9, tunggu pengumumannya tanggal 4 agustus ya... :)

    BalasHapus
  7. hihihi beneran kocak abis ketawa ketiwi sendiri bacanya

    BalasHapus

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa