Ibu yang Marah dan Standar Ideal


Sering kali saya mendapat curhat ibu yang tak terima dirinya “dituduh” sebagai ibu yang tak piawai mengurus rumah tangganya.
Beberapa bulan lalu, di sebuah perpustakaan, seorang teman bercerita, bagaimana dongkol hatinya “dituduh” temannya sebagai ibu yang lebih mementingkan eksis di media sosial facebook daripada ngurus anaknya, hanya karena pagi-pagi sudah nulis status di facebook.
Jelas saja teman saya ini murka, lha wong menurut dia, anaknya selalu disisinya, hanya saat belajar di sekolah saja tidak berada di sisinya.
Menurut teman saya ini, dia langsung menuliskan komentar pemberitahuan bagaimana keseharian dia. Dari pagi menyiapkan sarapan, ngantar anak sekolah, lalu ngurus usahanya, siang jemput anak sekolah, sore ngantar les, masuk rumah sudah magrib, lalu makan malam.

Kemudian, minggu lalu, tiba-tiba saya dapat sms, tulisannya
“Jeung aku pengen ngamuk”.
Whew…terperanjat saya, kok teman baik saya ingin ngamuk, ngamuk pada sayakah?. Ternyata dia hanya ingin menumpahkan emosinya, dan saya diminta untuk jadi pendengar yang baik.
Teman saya ini tidak terima dituduh sebagai ibu yang tidak cerdas, karena anaknya sulit makan.
Menurut teman saya ini, sang wanita penuduh dirinya tidak cerdas itu mengatakan bahwa anak sulit makan itu karena ibunya tidak pintar dan malas mencoba kreasi makanan baru.
Saya tahu sendiri, bagaimana teman saya ini ngubek-ubek internet dan toko buku demi mencari informasi bagi tumbuh kembang anaknya.
Tidak heran jika dia ngamuk, karena yang dituduhkan itu tidak benar, mungkin teman saya belum menemukan makanan sehat yang disukai bagi anaknya yang baru berusia 6 bulan, baru mengenal makanan pendamping ASI. Lha kok ada orang yang dengan semena-mena nuduh dirinya gak cerdas, padahal si penuduh itu baru ketemu teman saya sekali.

Semua ibu, tidak akan terima dirinya dituduh tidak becus mengurus tugasnya. Apalagi jika tuduhan itu memang tak benar.
Saya percaya semua ibu mencoba menjadi ibu ideal, menjadi istri ideal dan menjadi ideal untuk semua peran yang menempel di didirinya.
Mereka melakukan dengan cara mereka sendiri, bisa jadi mereka masih dalam tahap menjadi ideal dan kita tidak boleh dengan sa'enake udele dewe mengomentari mereka tak becus. Yang bisa kita tawarkan pada mereka adalah memberikan pandangan yang kita anggap ideal, lalu keputusannya ada pada mereka, kita tak berhak memaksa, sebagaimana kitapun tak ingin dipaksa orang lain.

Saya ingat beberapa hari lalu, di studio jahit saya sedang terjadi pergosipan tentang seorang istri dari (sebut saja) X, salah satu karyawan laki-laki di studio jahit saya.
Seorang mbak yang membantu menjahit nyletuk, kenapa istrinya X yang dulu juga karyawan studio kami tidak lagi membantu mencari penghasilan tambahan setelah hamil. Toh hamilnya tak bermasalah. Seharusnya sang istri itu membantu mencari tambahan penghasilan, kan suaminya cuma tukang jahit, berapa sih gajinya tukang jahit?, tentulah masih kurang jika harus menghidupi dirinya sendiri plus seorang istri dan sebentar lagi punya anak yang tentu saja akan butuh biaya.

Tak berapa lama datanglah X ke studio kami, dia bercerita merasa kasihan saat melihat istrinya kesulitan mencari posisi tidur yang nyaman, dan dia sedih saat tetangganya bertanya, mengapa dia pulangnya malam terus, kasihan istrinya dong. Lalu dijawab oleh X, bahwa dia harus bekerja lembur untuk mengumpulkan dana demi menyambut kelahiran anaknya nanti, eh ternyata tetangganya ngomong gini, “Istrinya disuruh kerja dong, hamil kan gak harus bermalas-malasan”
Si X lalu curhat kepada kami, dia sedih istrinya dibilang hanya bermalas-malasan, dia katakan istrinya lemah sejak mengandung, menurutnya, kan tidak semua orang hamil mempunyai pengalaman yang sama, mungkin bagi sebagian orang kehamilannya tidak menyebabkan kelemahan yang sangat, sedangkan istrinya lemah, cepat lelah dll. Dia rela bekerja lembur setiap hari agar upah yang dia terima lebih banyak.  Dia tidak mempermasalahkan istrinya tak bekerja.

Mak dienggg…  pernyataan X ini membuat seisi studio menjadi sadar, termasuk saya yang mendengarkan pergosipan dan pernyataan X.
Kita sering kali memaksa orang lain dengan berlaku dengan standar ideal kita.
Contohnya si komentator yang menuduh teman saya yang pagi-pagi sudah nulis status di facebook. Menurut si komentator ini, idealnya seorang ibu pagi-pagi itu sibuk, baik ngurus anak maupun ngurus pekerjaannya. Jika ada seorang ibu yang bisa nulis status facebook di pagi hari itu adalah ibu yang tidak mengurus anaknya.
Padahal jika mau dicermati lebih dalam, berapa lama sih nulis status facebook itu?, itu bisa disambi saat menggoreng tahu di dapur, setelah itu menggurus kembali pekerjaannya, lalu saat menunggu makan anaknya pulang sekolah, dia bisa membuka kembali media sosialnya. Tidak menyita waktu yang lama bukan?. Jika ada ibu yang tidak memilih untuk nulis status maupun komentar, itu juga tidak salah. Yang salah adalah menuduh tanpa pernah mau melihat sendiri keseharian orang yang dituduhnya itu.

Begitu juga dengan kisah X, si penuduh memaksakan bahwa standar ideal untuk istri X adalah wanita yang masih tetap bekerja saat hamil, karena gaji X tidaklah besar.
Mari kita renungkan sejenak, Lha kok si penuduh yang maksa?, padahal dia sendiri tidak memberikan kontribusi saat X butuh uang lebih. Dan atas alasan apa diributkan jika suaminya ridho istrinya tidak bekerja, suaminya rela untuk bekerja lembur?, masihkah kita memaksakan diri untuk menganggap istrinya bukan istri ideal, sementara suaminya adem ayem nyaman tenteram di samping istrinya?.

Kita kadang “memusuhi” orang, membuat penilaian buruk tentang orang lain karena kita memaksakan mereka memakai standar ideal kita padanya. Padahal seumpama baju, tidak semua baju kita pas di badan orang lain, begitu pula dengan standar ideal kita, belum tentu pas dengan standarnya orang lain.
Seperti contoh kasus mas X itu, apa yang salah coba?, Dia tidak melakukan hal yang dilarang Tuhan, tidak menyakiti orang, tidak menjadi sumber keresahan masyarakat, juga tidak merepotkan orang lain. Dia merasa bahagia, dia merasa nyaman, dia merasa bekerja keras adalah kewajiban dia. Lha kok orang tidak salah apa-apa lalu kita seenaknya saja mengomentari dia dengan komentar minus.

Selayaknya semua peristiwa berbuah hikmah, begitu pula dengan tiga kejadian diatas. Semoga kita adalah orang-orang yang pandai memunggut remah-remah hikmah dalam kehidupan ini untuk menjadi orang yang lebih arif dan tentunya lebih bahagia tanpa menyakiti orang.

Wallahu a’lam bishshawab


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa