Bekerja

-->

Seorang teman, yang bekerja sebagai editor menulis di sebuah note bahwa bekerja adalah perjalanan menjelajahi relung terjujur hidup kita.  Tanpa itu kita hanyalah robot.
Yup! Benar, bekerja dengan jujur menjadikan kita “manusia”, ada rasa ingin menjadi lebih baik, lebih baik dan lebih baik lagi. Dalam bekerja ada semburat rasa pegal yang kemudian tertutupi oleh rasa lega saat apa yang kita maksud terwujud. Tidak seperti robot yang bekerja hanya untuk menghasilkan suatu produk tanpa ada sentuhan rasa.

Bagi saya bekerja adalah sebuah kebanggaan dan kepuasan. Kebanggaan bagi diri sendiri, bukan untuk dibanggakan pada orang lain. Puas karena saya bahagia dan nyaman dengan pilihan saya.

Syukurlah saya dilahirkan dan dididik oleh orang tua yang bukan pengejar citra di mata orang. Karena kami paham, citra akan datang sendiri saat kita tidak melawanNYA. Begitu pula dengan pilihan pekerjaan.
Saya yang dari SMP sudah menginginkan bisa menjahit, memilih sekolah menegah atas dengan pelajaran jahit menjahit sebagai pelajaran utamanya.  Sekolah yang saat itu dipandang sebagai tempatnya anak buangan, anak dengan nilai NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang tidak mencukupi untuk masuk sekolah negeri, maka larinya akan ke sekolah itu.
Saat itu NEM saya diatas rata-rata nilai NEM untuk dapat masuk sekolah negeri, tapi saya tetap memilih untuk sekolah jahit menjahit, dan orangtua mengijinkan.
Walaupun banyak komentar miring saat itu,
“Untuk apa sekolah menjahit?”,
“Nilainya rendah ya?, tidak mencukupi masuk ke SMA negeri ya?”, sampai yang paling ekstrim saat orangtua dipandang tidak pandai mengarahkan saya. Karena menurut saja saat saya memilih sekolah anak buangan tersebut. Hal terakhir ini yang menyakitkan hati. Tidak ada anak yang ingin orangtuanya dihina bukan?. Alhamdulillah Almh mama saya hanya berkata begini “Yang akan menjalani hidup ini adek (panggilan mama pada saya),  bukan orang yang berkomentar. Yang tahu dirimu adalah kamu dan orangtuamu, melebihi semua orang yang mengaku lebih tahu kamu daripada dirimu sendiri”.
Hiyes!!! Orangtua hebat bukan?, tidak sibuk dengan komentar orang dan tak membebani anaknya dengan pencitraan. #sungkempadaortu



Sampai tamat sekolah, kemudian menjadi penjahit, tetap ada anggapan rendah menerpa *hanya beberapa, gak banyak, orangnya ya itu-itu juga*. Sepertinya menjadi penjahit itu hina, jadi sangat perlu dikomentari miring.
Lagi-lagi saya bersyukur, saya tak terpengaruh oleh anggapan itu. Lha wong saya dan keluarga saya riang gembira cerah ceria nyaman dengan semua pilihan pekerjaan kami kok.
Kami tahu, ada banyak orang-orang yang mengkotakkan pekerjaan menjadi pekerjaan bergengsi dan pekerjaan tidak bergengsi.
Jika kerja di gedung tinggi mencakar langit itu adalah pekerjaan bergengsi yang patut dibanggakan pada seluruh dunia.
Yang bekerja ditempat kotor, bengkel misalnya, adalah pekerjaan tak bergengsi, yang kalau menyebutkan pekerjaannya harus dengan suara pelan dengan ekspresi malu.
Kami juga paham ada banyak orang yang lebih melihat kemasan daripada isi, ada banyak orang yang tidak menghargai proses.
Semua orang tentu tak ingin pekerjaannya direndahkan apalagi dihina, namun selamanya di dunia ini akan ada hal yang berseberangan. Ada siang ada malam, ada kaya ada miskin. Hal yang sebenarnya sangat mudah untuk dipahami. Namun memang ada saja orang yang ingin seluruhnya berjalan seperti maunya, seluruhnya kaya, seluruhnya kerja di gedung pencakar langit dan seluruhnya tunduk pada kemauannya.

Saya pernah melihat satu tayangan dokumenter di TVRI (yang kemudian memacu saya untuk mencoret kata “malas” dalam kehidupan saya), yang menggambarkan bagaimana seorang gadis Jepang berusia 18 tahun berupaya mengejar cita-citanya sebagai pemain teater.
Dia datang dari desa menuju Tokyo yang dinamika kesehariannya berbeda jauh dari desanya. Gadis ini bekerja di SPBU, sebagai tukang lap kaca mobil dan membuangkan sampah yang ada di mobil. Hal itu dilakukan pemilik SPBU sebagai servis tambahan bagi pembeli bahan bakar di SPBUnya. Bisa dibayangkan bukan berapa gajinya?
Pukul 5 pagi dia bangun, lalu memasak di “dapur”nya yang hanya berupa meja semen berukuran tak lebih dari 50cm (tau sendiri kan? Sewa tempat di Tokyo kan mahalnya Naudzubillah), tempat menaruh kompor lalu di atasnya tergantung 2 panci. 1 panci untuk memasak sayur, 1 panci untuk memasak air.
dia bekerja hingga malam, lalu sekolah teater dari pukul 21 hingga 23, lalu kembali ke apartemennya sekitar pukul 24.30, kemudian dia sempatkan belajar, dan tertidur pukul 2 dini hari.
Coba bayangkan betapa gigihnya gadis ini berjuang untuk meraih apa yang diimpikannya.
Bagaimana dengan kita?, gigihkah kita berupaya meraih mimpi kita?

Bekerja adalah kejujuran yang didalamnya ada tanggung jawab. Tidak bisa kita bekerja namun mengenyampingkan tanggung jawab.
Bisakah kita bertanggung jawab, bahwa pilihan pekerjaan kita bukanlah pekerjaan yang dilarangNYA?. Dalam aturan agama yang saya anut, ada pekerjaan yang tidak diperbolehkanNYA, misalnya pekerjaan yang berhubungan dengan minuman keras, baik menjadi pembuat, pengedar atau peramunya atau pekerjaan tukang tato, juga pekerjaan yang dikerjakan dengan ketidakjujuran.

Baru-baru ini saya berurusan dengan orang yang notabene tidak bekerja, walaupun katanya sih dia bekerja. Lha kalau kerjaannya tak jelas dan hasilnya juga tidak jelas, maka saya lebih suka dengan jelas menyebutnya tidak bekerja.
Kemudian saya melihatnya sebagai orang yang ingin dianggap bekerja dan ingin masuk dalam “lingkungan” orang bekerja. Begini maksud saya, saat teman sebayanya menikmati hasil kerjanya, misalnya dengan liburan keluar kota setiap minggu/bulan. Diapun ingin, namun apa daya dana tak mencukupi, jadi mulailah dia berulah.
Bagaimana caranya agar dia juga bisa berbangga, sampai tega merongrong orang tuanya untuk meminjam uang pada temannya demi agar dia bisa ikut berlibur.
Dan yang paling menggenaskan adalah setelah tahu dia tak berani meminjam uang pada temannya, maka dikerahkannya orangtuanya untuk berkata pada teman saya bahwa anaknya ingin ikut berlibur namun belum punya uang. Sungguh perbuatan orang dewasa yang tak dewasa.
Perbuatan orang yang mau senang tapi tak mau bekerja demi kesenangannya.
Ulahnya yang lain adalah mengajak berkompetisi, sayangnya orang-orang yang dia pilih untuk menjadi rivalnya adalah orang-orang yang kemampuannya dibawah dia. Ibarat orang usia 30 tahun mengajak lomba lari dengan anak usia TK.
Bisa jadi itu adalah upayanya atas keinginannya untuk dianggap “ada”. Payahnya dia ingin dianggap ada namun dia sendiri yang tidak berupaya untuk bisa dianggap ada.

“Berniatlah karena Allah, dan upayakan mewujudkan niatmu dengan kerja maksimal”, kalimat ini saya dapatkan dari guru ngaji. Saya sangat suka dengan kalimat itu, bagai roket pendorong untuk bekerja baik dan sebaik-baiknya.
Tak masalah pilihan pekerjaannya (tak melanggar aturanNYA), asal dikerjakan dengan baik maka penghargaan akan datang sendiri. Bekerja dengan baik akan mendatangkan (peng)hasil(an) yang baik pula.
Masih nyata di memori saya, saat seorang teman ragu menerima pinangan seorang laki-laki, karena pekerjaannya dianggap tidak menjanjikan. Dia hanyalah seorang pekerja bengkel mobil. Namun melihat kesungguhannya bekerja, diterima juga pinangan itu. Kini setelah kurang lebih 10 tahun membina rumah tangga, sang suami sudah mempunyai bengkel mobil sendiri, dan sang teman mulai merasakan enaknya hidup bebas finansial.

Atau lihatlah kisah salah seorang kontestan lomba pemuda berprestasi (saya lupa apa nama lombanya, namun lomba tingkat nasional ini mencari pemuda-pemuda berprestasi yang luput dari perhatian). Bagaimana seorang lulusan perguruan tinggi terkemuka di negeri ini menggapai kejujuran bekerja dengan merelakan melapas jabatan yang telah mapan di sebuah perusahaan asing dan kemudian mendirikan semacam bank untuk orang-orang kecil. Orang-orang yang tak akan mungkin pinjam pada bank konvensional karena tak ada yang bisa diagunkan. Nilai pinjamannya sangat kecil, maksimal hanya 2,5 juta rupiah, yang dilunasi dalam 30 bulan. Dia relakan uang pribadinya dijadikan modal awal, bekerja sendiri keluar masuk kampung, mencoba meyakinkan masyarakat yang masih buta tentang simpan pinjam. Kini dia telah menggulirkan 2, 5 milyard untuk membantu rakyat kecil di 10 kecamatan.

Maka tak ada kata lain pada diri kita di kehidupan dunia ini, berniat baik dan berupaya maksimal lalu menyerahkan hasilnya hanya padaNYA. Karena memang area kita hanyalah berniat dan berupaya. Toh manusia juga harus merasakan kekalahan, kegagalan bukan?.
Jadi tak mengapa jika upaya maksimal kita berujung pada kegagalan, kita telah siap menerima konsekuensinya. Dan yang masih bisa membuat kita tersenyum adalah, kita tak akan pernah rugi sepenuhnya, karena ada pahala bagi orang-orang yang berniat baik dan berupaya mewujudkan niatnya. Apalagi yang lebih indah dari menabung pahala dariNYA?.
Jadi bekerja di kantor mewah ber AC, bagi saya sama saja dengan bekerja di rumah mungil, yang saya nilai adalah apakah orang tersebut bekerja dengan jujur dan baik.


Yuk kita berkerja sebaik-baiknya karena kecintaan kita padaNYA.

Wallahu a’lam bishshawab

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa