Raport dan Masa Depan Anak


Hari ini mbak-mbak yang bekerja di studio jahit meminta ijin untuk datang terlambat, karena mereka akan mengambil raport anaknya.
Sehari sebelum mengambil raport, mereka berkisah pada saya, bahwa banyak dari guru-guru di sekolah anaknya yang terkesan memaksa untuk memberi “kenang-kenangan”.
Ketika saya katakan untuk tidak membiasakan memberi uang pada guru saat mengambil raport, karena itu sama saja kita yang membiasakan perilaku buruk. Eh mbak itu menjawab begini, “Dulu saya juga pernah tidak memberi uang saat mengambil raport, tapi kemudian anak saya dipanggil, dan ditanya wali kelasnya, mana kenang-kenangan untuk saya?” #tepokjidat.

Mendengar kata “Raport”, saya jadi terkenang sebuah peristiwa.
Setelah pembagian raport, biasanya saya akan bertanya pada murid
”Bagaimana nilai raportnya?”.
Karena fokus saya adalah mengajar bahasa Inggris (walaupun untuk SD, saya mengajar semua mata pelajaran), maka pertanyaan akan dilanjutkan dengan “Berapa nilai bahasa Inggrisnya?”.
AlhamduliLlah kebanyakan nilai mereka diatas 8.5 (biasanya sih 9).

Disamping kegembiraan karena murid dan orangtua puas, saya juga pernah mendapat pernyataan ketidakpuasan orangtua murid.
Ceritanya begini, saya ditelpon seorang ibu yang ingin anaknya les pada saya. Seperti biasanya, sebelum memulai les, saya akan bertandang ke rumah calon murid, sekedar melihat bagaimana keadaan calon murid dan memberitahu kepada ibunya bahwa cara mengajar saya berbeda dari kebanyakan guru les.
Pertemuan pertama sudah diwarnai keributan. Si ibu terang-terangan mengatakan anaknya bodoh didepan saya. Saya kaget, mengapa ibu itu dengan entengnya merendahkan anaknya di depan orang yang baru dia kenal?.
Setelah 3 bulan mengajar (seminggu 2 kali pertemuan), tibalah saatnya pembagian raport dan diikuti dengan libur sekolah, yang artinya saya juga libur mengajar. Ketika mulai masuk sekolah seusai libur, saya kembali di telepon ibu tersebut, kali ini menyatakan untuk tidak les lagi sampai waktu yang tidak ditentukan. Semula saya pikir biasa saja, wong namanya saja guru les, ya hanya datang jika dibutuhkan.
Ternyata ibu tersebut kecewa dengan kinerja saya. Ibu tersebut berharap jika anaknya sudah les privat (yang bayarnya lebih mahal dari les biasa), maka anaknya akan mendapat rangking 3 besar di sekolahnya.
Hal ini saya ketahui dari ibu murid saya yang lain, yang kebetulan rumahnya didepan rumah ibu tersebut.

Di era informasi yang kian mudah di akses, kok ya masih ada para orangtua yang menyandarkan cerdas/tidak cerdasnya anaknya berdasarkan rangking raport maupun jajaran nilai akademik.
Bukannya telah banyak informasi tentang beragam aspek yang menunjang sukses tidaknya anak di masa depan.
Tidak dapat dipungkiri, semua orangtua pasti bangga jika anaknya masuk 3 besar di sekolah/kelasnya. Saya pun akan begitu. Namun menjadikan jajaran nilai akademik sebagi barometer berhasilnya seorang anak bukanlah hal yang selalu benar.
Banyak sekali aspek kecerdasan yang tak tertulis di raport. Bagaimana piawainya anak berkomunikasi dengan teman-temannya, dengan orang yang lebih tua, kesantunan, jiwa kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, itu semua tak tertulis di raport.

Jika saya yang hanya 3 bulan mengajar (24 kali pertemuan) diharapkan bisa ujug-ujug membuat anaknya menjadi juara kelas, walah, salah sekali itu.
Bukannya hendak membela diri, namun apalah artinya 24 kali pertemuan jika sang ibu tidak berhitung dengan pola ajarnya pada anaknya. Bagaimana anak bisa belajar dengan nyaman jika kata-kata “Bodoh” senantiasa terucap. Saat saya katakan bahwa kata tersebut tidaklah baik bagi tumbuh kembangnya anak, ibu itu menjawab “Itu motivasi miss, biar dia tahu kalau dia bodoh, lalu giat belajar agar pintar”. Oalah bu buuuuuuu…itu motivasi cap apa?.

Masa Depan Anak, Perencanaan atau Ambisi Orangtua?
Saya melihat kecenderungan orangtua (terutama ibu-ibu) sangat ingin anaknya cepat pintar. Itu hal yang lumrah. Tetapi menjadi tidak lumrah jika caranya “membuat cepat pintar” semacam ambisi orangtua.
Saya yang 5 tahun lalu hanya mengajar murid kelas 4 SD sampai SMP, tahun ini kebanyakan murid saya adalah TK dan kelas 1-3 SD.
Sebenarnya sekolah utama bagi anak adalah ibunya.
Pengalaman saya mengajar mengatakan, sebenarnya para ibu-ibu ini mampu mengajar anak, tetapi kebanyakan mereka tidak sabar, saat anak tak mau belajar, malah dimarahi, dicubit atau dihukum, jadilah anak malah menghindar dari kegiatan belajar. Kalau sudah begini ibunya memanggil guru les untuk mengajar.

Sebagian orangtua beralasan “demi masa depan” ketika membekali anak dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan lewat beragam kursus atau les. Menurut mereka anak harus dipersiapkan semenjak dini untuk menghadapi zaman dengan tingkat persaingan yang tinggi. Jika anak tidak pandai bahasa Inggris, tidak pandai mengoperasikan komputer dan tidak memiliki nilai akademik yang tinggi maka kelak dia akan gagal dan menjadi orang yang terpinggirkan.
Saya khawatir bila sejak kecil anak sudah diforsir untuk belajar secara formal, dia ibarat lari marathon, belum sampai finish sudah kelelahan.
Pengalaman menunjukkan bahwa anak lebih mudah menyerap pelajaran jika proses belajar mengajarnya santai, tidak formal, nyaman dan menyenangkan. Bagi anak usia dibawah 10 tahun, belajar sambil bermain adalah cara paling efektif dalam mentransfer ilmu.
Kuncinya, kalau ingin mengajar anak-anak, gurunya harus sabar dan kreatif.
Saya juga khawatir dengan orangtua yang memiliki pandangan tentang profesi-profesi yang “wah” di masyarakat, misalnya profesi dokter, dosen dan lain-lain. Maka dengan segenap tenaga orangtua mengarahkan anak untuk kelak memilih profesi itu. Padahal belum tentu anak berminat dengan profesi “wah” tersebut.
Saya mempunya murid yang ibunya seorang dokter, saat saya tanya profesi apa yang dia cita-citakan?, dengan mantap si anak menjawab "Dokter",
"Mengapa milih dokter?"
"Karena kayaknya enak aja liat mama jadi dokter".
Nah kalau yang seperti ini bukan pemaksaan ya. Beda jika saat anak ingin menjadi anggota pemadam kebakaran, tapi ibunya ngeyel meminta dia menjadi dokter.
Saya lebih senang mengatakan pada murid saya “ Pilihlah profesi yang menyenangkanmu, selama itu membuatmu menjadi orang baik dan bertanggung jawab”
Mengutip pernyataan  DR. Ratna Megawangi, salah seorang staf pengajar di IPB, orangtua biasanya ingin menempel anak-anaknya dengan bentuk-bentuk kebanggaan yang sifatnya lebih banyak  keduniawian.
Menurut beliau, keberhasilan anak bukan diukur dari bisa baca ketika kecil, tapi bagaimana anak mempunyai kematangan emosional.
Jika anak kita arahkan menjadi insan yang yakin bahwa setiap perbuatan akan berbalik pada pembuatnya dan akan selalu ada yang Maha Mengawasi, maka kedepannya dia akan menjadi manusia yang bisa bertanggung jawab pada diri dan lingkungannya.

Mari, kita bersama mendampingi tumbuh kembang anak, dan kita arahkan bukan hanya semata pada jajaran nilai akademik yang tinggi, namun lebih pada rasa bertanggung jawab pada kehidupannya.

Wallahu a’lam bishshawab

2 komentar:

  1. Bu Novi, ya memang ada sebagian orang tua murid yang begitu. Saya juga guru Les Math Fis utk SMP SMA sudah 6thn. Tapi biasanya ortu murid tidak kemukakan alasan berhenti les. Ya kita cari lagi aja murid yang lain. Thanks sudah sharing. Kunjungi blog saya juga ya: www.i-update.blogspot.com >> Bayu RA Jakarta

    BalasHapus
  2. @Admin > terimakasih mas Bayu atas sarannya. Sukses selalu ya :)

    BalasHapus

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa