Menggunakan Bahasa Alay = Tidak Dewasa?

-->


“Ceumunggud qaqaq”. 
“Eeaaa”
“Koq kamyu sulid syekalee dihubungi sech?”

kalimat diatas adalah contoh beberapa kalimat dengan menggunakan bahasa alay.
Bahasa  seperti itu sering kali dipakai oleh beberapa orang, bukan hanya ABG yang notabene adalah pengguna terbesar bahasa alay, namun juga orang-orang yang telah dewasa.

Tentu naif sekali jika dengan semena-mena menuduh orang dewasa pengguna bahasa alay (yang pada kenyataannya mereka  sangat jarang menggunakannya)  sebagai orang yang tidak berpikiran dewasa alias kekanak-kanakan.
Saya mengenal beberapa teman yang kerap menggunakan bahasa alay dalam berkomentar di facebook, nyatanya mereka adalah orang-orang yang serius dalam pekerjaannya dan berpikiran dewasa.

Apa sih ukuran “Dewasa” itu?. Menurut saya indikatornya bukan dengan tulisan yang pernah menggunakan bahasa alay. Tetapi lebih pada pengenalan diri sendiri, sejauh mana dia bisa mengemban tanggung jawab yang ada di pundaknya.
Sebenarnya definisi dewasa banyak, selain pernyataan di atas ada pula yang menyatakan dewasa adalah kematangan emosi, kekukuhan ruhani, kekuatan pendidikan, keluasan wawasan, penguasaan ketrampilan hidup (life skill),hingga kemandirian ekonomi.
Suatu bahasa dapat menyimbolkan ciri khas suatu kelompok atau zaman tertentu . Zaman saya ABG dulu juga ada bahasa khas yang digunakan dikalangan ABG. Misalnya menyebut nongkrong dengan kongkow, atau masih ingatkan pembaca dengan kata “Mejeng”, “Keki”, “Ilfil”, dll?
Itu adalah beberapa contoh bahasa yang pada zamannya sangat sering digunakan dalam suatu komunitas/kalangan.
Lalu seiring dengan berjalannya waktu, bahasa juga berkembang.

Nah, mengapa ada orang-orang yang dengan kejam memberi label kepada pengguna bahasa alay sebagai orang yang kekanak-kanakan?. Bukankah bahasa alay juga seperti bahasa-bahasa khas anak muda yang dulu pernah ada?.
Bisa jadi mereka mengkaitkan bahwa bahasa alay ini banyak digunakan ABG yang masih dalam proses pencarian jati diri atau kata lainnya masih labil, maka orang dewasa yang menggunakannya dianggap juga masih labil.  Hehehe… penilaian yang hanya sebatas kulit bawang (saking tipisnya)

Beberapa hari ini saya mengamati tulisan teman-teman yang kadang menggunakan bahasa alay untuk komentar di facebook atau untuk kicauannya di twitter, ternyata setelah saya baca tulisan di blognya, mereka adalah orang-orang yang memiliki pemikiran luas dan dewasa.
Tulisan mereka serius dengan pembahasan dan pandangan yang mendalam.
Seperti contohnya tulisan teman saya ini (silahkan ditelusuri isi blognya, jangan hanya dilihat  gambarnya saja), bandingkan dengan bahasa yang dia gunakan di FB nya (silahkan klik disini). Sangat berbeda bukan?, isi tulisannya bernas walau disampaikan dengan gaya yang tidak formal.
Atau perhatikan blog ini, silahkan membaca postingannya, bukan postingan yang kekanak-kanakan bukan?, padahal pemilik blog tersebut kerap menggunakan bahasa alay saat berkomunikasi denganku atau dengan beberapa teman lainnya.

Saya pernah dituduh kekanak-kanakan hanya karena saya kerap menuliskan kata “Aku” menjadi “Akyu” di komentar facebook. Bagi saya sah-sah saja dianggap demikian.
Anggapan mereka bukan urusan saya. Itu urusan mereka dengan dirinya sendiri.
Ketika saya tanyakan, apakah dia sudah pernah membaca tulisan saya di blog?, tulisan saya di surat kabar, tulisan saya di majalah wanita atau paling tidak membaca note saya di facebook. Ternyata dia belum pernah membacanya. Saya persilahkan dia untuk membaca ke 3 blog yang saya punyai. Namun sampai sekarang saya tidak mendapat tanggapan balik darinya.

Tulisan ini saya buat bukan sebagai refleksi ketidakrelaan saya disebut kekanak-kanakan, namun lebih pada memberi gambaran “Don’t judge the book by the cover”.
Bahwa suatu tulisan dibuat bisa berdasarkan siapa yang akan mengkonsumsi dan mengikuti gaya penulisan media yang dituju sang penulis.
Satu peristiwa ditulis oleh satu penulis namun bisa dalam beragam gaya. Tulisan di Kompas tentu berbeda dengan tulisan di majalah Hai atau Bobo, walau topik yang diangkat adalah sama. Dan penulis di majalah anak-anak juga tidak bisa di cap sebagai orang yang kekanak-kanakan karena menggunakan bahasa anak-anak. Ini menunjukkan bahwa menilai seseorang tidak bisa didasarkan dari sekedar membaca komentar di facebook, tetapi “Bacalah” keseluruhan dari orang tersebut, baik perkataan, perilaku dan pemikirannya.

Wallahu a’lam bishshawab

2 komentar:

  1. kunjungan blog walking,,, semoga saya tidak dalam kategori alay ya mba..)
    mengundang untuk
    Kumpul di Lounge Event Tempat Makan Favorit

    Trims
    Salam Bahagia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kunjungannya ...heheheh..sesekali pakai bahasa 4LaY tidak mengapa kan.

      Hapus

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa