Menulis, Sesuatu Yang Hidup dan Menghidupkan (Wordisme)


Dapat hadiah :)

Wordisme, (boleh dibaca Word Is Me) adalah workshop menulis yang mengusung slogan “Menulis untuk hidup dan menghidupan”
Workshop ini dikelola oleh sejumlah penulis ternama di Indonesia yang terdorong setelah melihat betapa marak dan rancaknya bakat menulis yang dimiliki anak-anak muda Indonesia.

Seiring perkembangan dunia teknologi informasi, termasuk social media, sebagai wadah yang memperlihatkan bakat-bakat yang menyembul dari tulisan-tulisan pendek yang bertebaran di blog, twitter, dll.
Fenomena ini menajamkan pemikiran bahwa menulis kini telah menyentuh ranah gaya hidup.
Orang merasa bangga dan bahagia bisa mengekspresikan bakat menulis di tataran yang bukan sekedar hobi tersembunyi.


Pada tanggal 19 Nopember 2011 yang lalu, saya, salah seorang yang beruntung terpilih dari ratusan pendaftar, mengikuti workshop menulis Wordisme di gedung Kompas Gramedia, Jakarta.
Malam sebelum acara ini digelar, seusai mengikuti acara ABC, Bali, saya menginap di Shangrila Hotel, karena sepupu saya yang bekerja sebagai pramugari pada sebuah maskapai penerbangan di Dubai kebetulan sedang terbang ke Indonesia dan menginap di hotel yang sama.
Saya datang pukul 07.30, sesuai jadwal yang disarankan oleh panitia. Setelah mengisi daftar hadir, saya diberi satu goodiebag yang berisi buku, beberapa brosur, beberapa sachet minuman instan dan pernak-pernik dari sponsor.
Memasuki ruangan, ternyata masih lengang. Tidak satupun orang di ruangan tersebut yang saya kenal. Untunglah saat di lift,saya berbarengan dengan seorang ibu yang tadinya hanya saling senyum, sampai di ruangan akhirnya ngobrol sembari menunggu acara dimulai.


Workshop yang dimulai pukul 09.00 hingga pukul 17.00 ini dibagi menjadi  5 sesi.
Sesi pertama yakni jurnalisme pop. Pembicara dalam sesi ini adalah mbak Petty S Fatimah (pemred majalah Femina) dan mbak Reda Gaudiamo (pemimpin grup majalah lifestyle Gramedia), dengan moderator Artasya (penyiar radio).
Pada sesi ini membicarakan bagaimana sebuah tulisan dengan tema yang sama bisa masuk dalam berbagai majalah. Kuncinya adalah ANGLE.
Angle adalah gaya menulis sesuai dengan ciri khas majalah tersebut. Sebagai contohnya, saat Steve Jobs meninggal, hampir semua majalah menuliskan tentang dia, namun ulasan di majalah Femina tentu lain dengan ulasan di majalah Kawanku. Nah kita pun bisa menulis satu topik yang sama untuk beberapa majalah/ koran namun dengan gaya bahasa dan ulasan yang berbeda, disesuaikan dengan ciri khas media tersebut.
Mbak Petty & mbak Reda

Sesi kedua diisi dengan topik menulis biografi oleh mbak Alberthiene Endah(penulis biografi dan novelis), dimoderatori oleh mas Mayong Suryolaksono (wartawan, presenter).
Salah satu ilmu yang dibagi mbak AE (begitu panggilan akrabnya) adalah, saat wawancara dengan narasumber kita harus masuk dalam “alam pikiran” narasumber tanpa harus tenggelam didalamnya. Harus tetap sadar, bahwa kita adalah perangkum kisah narasumber tersebut. Dan yang tak boleh dilupakan untuk menulis sebuah biografi (yang bukan hanya sebagai catatan pekerjaan apa saja yang sudah dilakukan narasumber) adalah sisi humanisme dan kesabaran mengahdapi narasumber yang terkadang tak sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati.

Mbak Alberthiene endah & mas Mayong Suryolaksono

Sesi ketiga dengan pembicara Raditya Dika (blogger,penulis) dan Olli Salsabeela (blogger, entrepreneur penerbit) membahas topik meraih sukses dari blog dengan moderator Miund (penyiar radio)
Radit memberikan tips untuk terus menulis setiap harinya. Dia mengatakan “Tulislah hari ini, jika tulisan itu jelek, engkau bisa mengeditnya besok. Jika tak kau tulis hari ini, besok tidak ada yang kau edit dan belum tentu kau menulis “. Tips ini ampuh bagi para penulis yang sering dijangkiti penyakit gak mood.

Raditya Dika

Olli & Djenar Maesa Ayu
Setelah makan siang yang sexy (begitulah saya menyebutnya), nasi merah dengan lauk khas Indonesia yang ditempatkan di sebuah besek (kotak dari anyaman bambu) dan dialasi daun jati, acara dilanjut dengan pelatihan menulis fiksi novel/cerpen. Hilbram Dunar (presenter,penyiar radio) sebagai moderator mampu menggali tips-tips ampun dari beberapa pembicara, antara lain Djenar Maesa Ayu (novelis, cerpenis), Clara Ng (novelis, cerpenis), Hetih Rusli (editor penerbit Gramedia Pustaka Utama) dan Windy Ariestanti (editor penerbit Gagas Media).
Djenar membagikan satu kunci sukses penulis adalah  menulis dengan jujur dan tidak mempersulit pembaca dengan bahasa yang mbulet.
Sesi terakhir adalah pelatihan menulis skenario, dengan pembicara Salman Aristo (penulis skenario film dan sinetron), Alexander Tian (penulis skenario, editor) dan Aditya Gumay (sutradara, penulis skenario).
Pada sesi kali ini banyak perdebatan di antara pembicara. Alexander Tian mengatakan untuk saat ini sinetron kita memang didominasi oleh sinetron dengan konflik yang panjang dan cerita yang seragam (banyak yang menyebutnya dengan sinetron tidak  bermutu). Misalnya sinetron dengan cerita si A mencintai si B, si B mencintai si C, si C dendam dengan si A, dst.
Menurut Alex, dia pernah membuat sinetron yang menurutnya mempunyai cerita yang bermutu dan memakan budget yang lumayan besar, sinetron itu direncanakan sekian episode, tapi baru beberapa episode telah dihentikan, karena ratingnya rendah. Maka jika ingin menulis untuk bisa mendapatkan uang, menulislah sesuai dengan permintaan pasar, begitu saran Alex Tian.
Hal ini dibantah oleh Aditya Gumay, menurut dia ada sekian banyak rakyat Indonesia yang menginginkan wajah sinetron kita lebih bermutu, dan Aditya menceritakan bahwa untuk membuat sebuah tayangan bernilai tidaklah harus mahal dan ceritanya berbelit-belit.
Saya terkesan dengan kisah Aditya yang berjumpa dengan seorang anak SMP dari sebuah sekolah di daerah yang cukup jauh dari ibukota.
Anak ini menjuarai pembuatan film bagi murid-murid sekolah. Ceritanya sangat sederhana dengan peralatan yang sederhana juga.
Film itu berjudul Pigura, ceritanya mengenai anak yang ditinggal ayahnya entah kemana, ayahnya meninggalkan keluarganya dengan alasan tak bahagia. Tinggalah dia bersama ibu dan seorang adiknya. Dia ingin sekali membuat orang tuanya bahagia dengan harapan ayahnya akan kembali ke tengah keluarga. Usaha yang dilakukannya untuk membahagiakan orang tuanya adalah dengan belajar. Suatu saat dia mendapat nilai 100 untuk ulangan matematika, kertas ulangan tersebut dia tempel di pintu kamar,sebagai simbol keberhasilannya, tapi adiknya yang masih kecil tak tahu bahwa kertas itu sangat berharga bagi kakaknya. Dengantanpa rasa berdosa, kertas ulangan tersebut dipotong kecil-kecil utuk dijadikan ekor layang-layang. Layang-layang itu terbang tinggi (simbol tingginya keinginan anak tsb untuk membahagiakan ayahnya, sehingga ayahnya bersedia kembali ke tengah keluarga), namun layang-layang itu putus. Sang kakak mengejar layang-layang tersebut hingga jauh. Layang-layang putus itu didapatnya kembali dan dipotong-potong, lalu di tempelkan pada sebuah karton hingga membentuk pigura yang didalamnya diisi foto ayahnya.
Kisah yang tidak rumit, natural dan penuh makna bukan?
Menurut Aditya, film ini dibuat dengan menggunakan handycam sederhana milik gurunya yang juga berprofesi sebagai perekam acara pesta pernikahan di kampungnya.

Sebagian dari para narasumber

Menurut kabarnya acara Wordisme ini akan diadakan di beberapa kota di Indonesia, Semoga saja rencana itu terlaksana dan semakin banyak kita jumpai tulisan-tulisan indah dan bermanfaat.

Mari menjadikan dunia tulis menulis sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan.
Kita bisa merasakan hidup yang semakin “hidup” dengan menulis.
Kita bisa menghidupi diri dengan menulis.
kita juga bisa memberikan makna bagi hidup orang lain melalui tulisan.
Write for life.



Banyak dapat hadiah


2 komentar:

  1. nangis baca yang terakhir
    hebat anak kecil itu, sungguh tak terpikirkan :(

    Apa khabar, Mbak?
    kangen...

    BalasHapus
  2. @Anazkia > iya Naz...aku aja terkesima hanya dengar cerita singkatnya, apalagi liat detailnya.

    Kabar baik say...
    mis yu tu

    BalasHapus

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa