Pukul 4 subuh handphone berdering, terdengar suara terisak di seberang sana.
Seorang teman mengatakan bahwa suaminya meninggalkan rumah dan akan menceraikannya.
Setelah sholat subuh kupacu motorku menuju ke kediamannya.
Tak banyak yang bisa kulakukan, selain menatap matanya yang sembab, menepuk bahunya dan menggengam tangannya.
Tak perlu kita membahas apa penyebab perceraiannya.
Yang pasti dia sedang membutuhkan semangat dan dukungan dari orang lain (dan tentunya dari dirinya sendiri)
Kita adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan.
Hidup memang disyariatkan untuk saling menolong. Dengan saling menolong itulah kita memenuhi hajat hidup.
Jadi perkara menerima dan memberi pertolongan itu adalah hal yang lumrah dalam hidup ini.
Namun dalam prakteknya tak sedikit manusia yang gagap ketika harus meminta pertolongan, meski sebenarnya butuh.
Sebaliknya tak sedikit pula orang yang gemar menadahkan tangannya hanya untuk hal-hal yang tidak penting dan mendesak.
Mereka yang gagap meminta ada yang beralasan karena gengsi atau malu.
Batas keduanya sangat tipis. Gengsi berangkat dari kesombongan dan ketinggian hati, sementara malu berangkat dari rasa minder dan sikap rendah diri.
Diluar kelompok gengsi dan malu, ada orang yang enggan meminta tolong karena menjaga kehormataan dirinya. Bukan karena tak ingin dihinakan, bukan pula karena takabur, namun karena rasa tanggungjawab. Ia malu pada Allah karena tak berhasil mencapai kemandirian dalam mencukupi kebutuhan dirinya.
Sikap ini membuatnya sanggup menyembunyikan dan menahan kebutuhannya dari penglihatan orang lain. Jika lapar dahaga, dia sanggup menahannya dengan shaum, Jika sekedar jarak yang harus ditempuh, dia masih bersyukur diberi kaki yang kuat untuk berjalan.
Orang yang berusaha sekuat diri untuk mencukupi kebutuhan hidup namun takdir Allah memberinya ujian hidup berupa kekurangan, berupa kejadian yang diluar dugaan, berupa rencana yang tak terlaksana, dan berupa kegagalan, tak akan menyerah dan berputus asa dari rahmatNYA, mereka selalu optimis menjalani ujian kehidupan, maka kita saksikan wajah-wajah yang tetap tersenyum, yang mampu mengubah keadaan yang tak diinginkan menjadi roket pendorong untuk lebih baik.
Suatu hal yang harus diingat, orang-orang seperti ini ada di sekitar kita. Entah itu tetangga, sahabat, teman bahkan kerabat dekat. Kita tak akan tahu dan peduli selama belum sempurna iman di hati. Mereka begitu pandai menahan diri dari meminta-minta, namun orang beriman akan mampu menangkap isyarat itu...dapatkah kita rasakan?
".....Orang-orang yang tidak tahu, menyangka meraka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta" (QS, Al Baqorah : 273)
Wallahu'alam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar