Sate Labil

Soto daging buatanku
Saat duduk di bangku sekolah menengah atas, almh mama sering mengingatkanku untuk belajar memasak.
Beliau berkata,
“Dik, belajar masak sekarang, kasihan nanti suami dan anak-anakmu, masa dikasih makan telur ceplok sama kornet tiap hari?!”.
Lalu aku akan menjawab,
“Besok kalau nyari calon suami dikasih syarat, harus terima calon istrinya gak suka masak, lagian kan bisa pakai jasa katering”. #ngeyel

Karena ke-keukeuhan-ku tidak mau menyalakan kompor, sampai-sampai masak mie instanpun, almh mama yang memasakkan *duuuuuh jadi pengen nangis kalau ingat emakku yang hebad dan baik itu*.Aku menggoreng tempe menjadi peristiwa penting bagi orang tuaku, maka akan mengalir pujian saat makan tempe hasil gorenganku. Aku tahu, pujian itu mereka lontarkan agar aku semakin bersemangat untuk belajar memasak. Namun sepertinya sia-sia saja pujian mereka, karena sampai akhir hayat mamaku tak juga keinginan untuk bisa masak tumbuh dalam diriku.
***
Mengapa aku tidak suka memasak?.
1. Aku tidak suka suasana dapur dan bau bawang/bumbu-bumbu lainnya.
2. Beli makanan jadi lebih murah (emang sih ada yang lebih mahal, tapi kebanyakan lebih murah ya kan..kan?? *cari dukungan*)
3. Aku tidak suka terkena percikan minyak, bikin kulit belang-belang, gak mulus lagi.  #kemayu.
4. Aku menganggap ada hal lain yang lebih penting dikerjakan dari hanya “sekedar” memasak. Udah capek-capek, eh hasilnya “cuma gitu doang”.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia *eh yang ini abaikan….ini sila ke lima dari pancasila ya*
Gara-gara pemikiran di atas itulah aku tidak suka masuk dapur. Jika disuruh masak atau membersihkan kamar mandi, aku akan memilih membaca sambil tiduran aja deh *plak! Itu bukan pilihan!*

Bahwa setiap kejadian dapat merubah arah hidup maupun pandangan seseorang, itu benar adanya.
Saat mamaku masih sakit, aku memilih untuk tidak bekerja demi bisa merawat beliau, namun untuk urusan memasak, papa yang turun tangan. Aku masih belum juga mau menyalakan kompor *karena kupikir kan ada papa yang rela memasak* #plak. Kemudian mama meninggal *pas nulis kalimat ini air mata turun, deras. Berhenti sejenak menulis, dipuaskan dulu menangisnya. Semoga almh mamaku diberi tempat yang layak dan semoga aku bisa menjadi anak sholehah, yang akan menjadi tabirnya dari panasnya api neraka. Amin*, maka aku dituntut untuk harus bisa memasak, karena papaku tidak mau makan makanan yang dibeli di luar, harus masak sendiri.
Terereeeeeeeeeeeeeng jreeenk!, berubah drastislah menu keseharian kami (aku dan papa). Jika saat masih ada mama, papaku makan masakan Minang (gulai, balado, dan masakan-masakan yang bersantan kental), kini cukup puas hanya dengan tumis dan balado. Tidak ada gorengan, tidak ada camilan di sore hari, tidak ada kacang tojin bikinan sendiri.

Papaku tidak protes, karena tahu anak perempuan satu-satunya yang cantik dan menggemaskan ini akan sedih dan gundah gulana jika diminta memasak.
Bagaimana denganku sendiri?, walau masakanku rasanya suka tak tentu arah, tapi aku telan aja. Asal ada sayur aku semangat mengunyah makanan, soal rasa nomer delapan belaslah.
Sampai suatu hari……
Aku membaca kicauan (tweet) teman, yang mengatakan pentingnya makan “makanan rumah”, karena selain bahan dan proses memasakknya lebih terjamin, juga ada “rasa” yang tidak akan diperoleh jika kita memakan”makanan luar”.
Iseng-iseng kutanya pada beberapa teman laki-laki yang statusnya telah menjadi suami, ternyata benar sodara-sodara!, 99% dari responden surveiku ini lebih suka jika istrinya memasak untuk keluarganya, walau rasanya tak seenak jika membeli di luar, namun (kata mereka) dalam masakan tersebut, ada “rasa”cinta, perhatian dan kasih sayang. ….Duuuuhhh romantis kaaaannn???.

Gara-gara tweet tersebut, aku mulai berpikir, benar juga ya, bahwa makanan rumah itu punya aura positif dan energi bagi keluarganya, bukan sekedar pengganjal perut dan rasa enak di lidah. Oke dwech, dengan semangat tinggi, kutumbuhkan niat untuk belajar memasak.
Dimulai dengan ubek-ubek internet, nyari resep, lalu praktek. Hasilnya??? belum ada yang sekali jadi, enak dan sesuai dengan harapanku .  Adaaaaa saja yang rasanya kurang, walau telah merasa memasak sesuai dengan resep yang kubaca. Tapi gak nyerah dunk. Biasanya praktek yang ke dua atau ketiga atau keempat, kelima dan seterusnya  makananku sudah layak untuk ditelah, bukan dikunyah lalu dilepeh.
***

“Ibu berpesan : makanan paling baik & paling mulia adalah yang kau makan di rumah. Kebiasaan menjajan timbulkan watak yang tidak hargai keluarga”
, begitulah sebuat retweet dari teman. Walaupun tidak setuju 100%, namun kicauan ini semakin memacuku untuk bisa memasak dengan baik, rasa sesuai di lidah, setidaknya lidah keluargaku.
Mulai berpikir, jika tidak dari sekarang belajar memasaka, lalu kapan lagi?. Keburu kelak (jika diizinkanNYA) punya anak, dan terus makan makanan luar, wah bisa-bisa aku menurunkan kebiasaan buruk pada anakku. Hobi njajan dan tentu saja resiko yang menyertainya.

Jika aku “mengagungkan” makanan rumah, bagaimana pula jika ada yang mampu memasak makanan rumah namun karena pekerjaan/jarak/waktu tak memungkinankan mereka makan makanan rumah?. Jawabnya, ya sekurang-kurangnya setiap hari ada makan makanan rumah gitu, entah sarapan atau makan malam.
Teringat teman, pasangan suami istri dengan 2 orang anak,  yang tinggal di Bekasi dan bekerja/sekolah di Jakarta. Mereka berangkat pukul 5.30 pagi, anak-anak sarapan di mobil, sarapannya setangkup roti panggang dan segelas susu, setelah mengantarkan anak-anak sekolah, pasangan suami istri ini masih mempunyai waktu sebelum masuk kantor, biasanya mereka mencari sarapan di sekitar kantor mereka, bubur ayam, lontong sayur, ketoprak atau apa saja yang mereka inginkan. Makan siang tentu saja dilalui di luar rumah, sementara anaknya makan siang dari katering di sekolahnya. Sampai di rumah pukul 19, pastinya sudah capek jika harus memasak, maka makan malam mereka lewatnya di restoran atau warung. Hari libur adalah hari dimana anak-anak dan suaminya bisa merasakan makanan rumah.
Jika mengingat hal diatas, maka berbahagialah mereka yang bisa makan makanan rumah, jangan hanya karena rasanya yang tak seenak makanan diluar maka lebih memilih makan di luar.
***


Seminggu yang lalu aku ngajar dan disuguhi sate padang bikinan bundanya muridku, rasanya enak. Sepulang ngajar, aku meminta resep sate padangnya, bundanya muridku bukan hanya menerangkan langkah-langkah membuatnya saja, namun juga memberikan bumbu sate yang dia gunakan, jadi aku tinggal memasak dagingnya dan membuat kuahnya tanpa harus menggiling bumbunya.
Dengan semangat 45, cerah ceria, gegap gempita, sorak sorai bergembira, aku mulai mengolah bahan. Kres kres kres, prek, klunting klunting *bunyi memotong, menggeprek dan mengaduk*
akhirnya masak sudah sate padangku. Sukseskah? TIDAK SODARA-SODARA! *nangis salju*
Sate padangku sama sekali gak mirip sate, lebih mirip daging buat soto, warnanya hitam (walau bukan gosong), rasa kuahnya juga mirip jamu. Lebih parah lagi warna kuah satenya jadi hijau dan terigunya tak tercampur rata, jadi mbrindil-mbrindil.
Dengan malu-malu (sangat malu sih), aku mengatakan pada papa bahwa sate padangnya gagal total, gak bisa dimakan, pahit. *coba! adakah yang lebih parah dariku?, memasak kok rasanya bisa pahit?*. Seperti biasanya, papaku hanya tersenyum, tidak marah (juga tidak kaget, mungkin karena sudah menduga bakal gagal ya? #kebiasaan). Jadilah makan malam kami lagi-lagi berlauk rendang (salah satu masakanku yang sukses jaya, setelah 5 kali gagal), sambal dan lalap.

Meski sekarangpun aku masih aras-arasen (enggan) belajar memasak, namun kupaksakan untuk terus belajar. Aku tak mau kelak jika waktu itu tiba, aku belum siap hanya karena menunda dan menuruti keenggananku.
Lalu benarlah apa yang dinasehatkan almh mamaku, belajar masak.
Walau dulu sering ngeyel dan meremehkan memasak, kini aku sudah isyaf (walau belum insyaf sepenuhnya #teteupngeyel), mulai belajar memasak. Agar kelak keluargaku tidak bingung ini makan sate atau makan jamu sih?

Oh ya, bagaimana nasib sateku yang gagal?... ternyata sate itu labil, kini dia menjelma menjadi soto daging.
Kuahnya (yang rasanya mirip jamu) kubuang, lalu aku memasak kuah soto, trus dagingnya direbus di kuah soto tersebut, lalu jadilah soto yang sumpah! enak! *harus pakai tanda seru, penting*, bisa dimakan manusia dan tidak perlu siap-siap ambulans
Gak percaya kalau aku bisa masak soto?..lihat aja foto di postingan ini. terlihat enak kan? *pamer*


Ada yang bisa mengajariku memasak?

5 komentar:

  1. Itu masakan kok jadi kayak Ana, yah? Item, coklat labil pulak :D :P

    #Mblayuuuuuuuuuuuuuuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu kan hanya awalnya, setelah direnovasi, jadi putih bersih harum :p

      Hapus
    2. Nek putih kudu adhus? Males, ah! :P

      Hapus
    3. beugh.... koncone embek lak an

      Hapus
  2. hiks.. mendadak merindukan mama di rumah setelah membaca tulisan ini..

    hanya masakan dia yang selalu aku rindukan

    BalasHapus

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa