Siti, Pemijat Andalanku

Gambar diambil dari sini


Di studio jahit kami sedang kekurangan karyawan jahit dan bordir. Empat penjahit dan tiga pembordir yang selama ini membantu kami, ternyata belumlah cukup, akibatnya kami sering lembur hingga larut malam.
Tak pelak lagi, kami pasang mata, pasang telinga dan pasang pengumuman demi mendapatkan penjahit yang kami inginkan.
Salah satu pengumuman kami pasang di tempat kami mengaji. Tak lama kemudian pengumuman kami direspon oleh seorang perempuan, Siti namanya.

Saat Siti datang, kami sedang mengerjakan pesanan baju seragam sebuah SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu) dan sebuah SMA.
Hari pertama bekerja, Siti menjahit seragam model baju Melayu (di Pekanbaru, setiap hari Jumat semua murid sekolah diwajibkan mengenakan seragam dengan model baju Melayu, baju khas Riau). Ternyata Siti belum pernah menjahit baju Melayu, sehingga dia bingung saat memasang kekek (kain persegi yang menghubungkan antara badan dan lengan, salah satu potongan yang menjadikan baju Melayu berbeda dari baju kurung).
Penjahit lainnya segera mengajarkan padanya tehnik menjahit kekek.
Hasil jahitan Siti dibawah standar kami. Kami memintanya untuk membuka kembali jahitan dan menjahit ulang hingga sesuai dengan standar jahit kami.
Jika penjahit lain bisa menjahit tiga hingga empat helai sehari, maka Siti kebalikannya, tiga atau empat hari menjahit satu baju. Padahal baju yang dijahitnya adalah baju dengan model paling sederhana.

Karena hasil jahitannya tak kunjung seperti yang kami harapkan, maka Siti kami pindahkan ke bagian memasang payet. Ini kami lakukan atas nama tak tega memberhentikannya. Kami memberikan pekerjaan memasang payet “jalan”, yaitu payet yang dijahit berjajar atau berbaris lurus, sebuah tehnik menjahit payet yang paling sederhana.
Selama dua hari di bagian pemayet, kami melihat hasilnya sesuai standar, maka kami pun lega, karena tak perlu memberhentikannya.

Sampai pada saat libur lebaran telah usai, Siti belum juga muncul di studio jahit.
Hingga dua minggu berlalu, Siti belum juga datang. Kami sengaja tidak menelponnya, karena memang pekerjaan memasang payet masih bisa diselesaikan oleh dua orang pemayet yang telah ada.
Sampai di suatu malam, Siti menelponku, dia mengundurkan diri dari studio jahit kami, alasannya dia kurang suka memasang payet. Saat kujelaskan bahwa kami tidak bisa menerima hasil jahitannya karena kurang rapi, dia menjawab, “Kan bisa diajari sampai rapi kak”.
Aku terdiam sejenak, bisa sih kami mengajari hingga jahitannya sesuai dengan yang kami harapkan, tapi kapan waktunya?, semua penjahit sibuk dengan tugasnya, dan aku sendiri sibuk dengan membuat pola dan menggunting kain. Istilahnya, kami tak lagi “bisa bernapas” jika sudah ada di studio jahit, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya.
Siti mengatakan, maksud dia bekerja pada kami agar ilmu dan tehnik menjahitnya bisa bertambah, dengan kata lain dia bermaksud belajar menjahit pada kami.
Lalu kukatakan, bahwa kami bukannya tak mau mengajari dia, tapi kami tak punya waktu untuk mengajarinya di studio jahit.

Keesokan harinnya, Siti kembali meneleponku, dia menyatakan ingin les privat menjahit padaku (aku memberi les privat menjahit di malam hari), tapi uang lesnya dicicil.
Subhanallah, besar sekali tekad Siti untuk bisa menjahit. Sebenarnya seluruh waktuku sudah tersita untuk kerja. Dini hari aku bangun untuk mengerjakan pesanan handicraft, setelah subuh kerja domestik rumah tangga, lalu segera berangkat ke studio jahit, sore mengajar Bahasa Inggris, malamnya mengajar menjahit. Aku bisa leyeh-leyeh hanya di hari Minggu. Jika hari Minggu masih juga menerima murid, jadi kapan dunk istirahatku? *lho kok nanya?*
Namun, kok (lagi-lagi) gak tega ya menolak permintaan Siti. Apalagi mengingat dia seorang janda dengan satu orang anak yang ditinggal di kampungnya. Dia sendiri di Pekanbaru menyewa sebuah rumah yang ditinggali bersama kakaknya (yang juga seorang janda).
Siti dan kakaknya sehari-hari berjualan kaos kaki muslimah di area pesantren di mana kami mengaji.

Setelah berpikir waktu mana yang bisa kusisipkan untuk mengajar Siti, maka kutelepon dia untuk mulai belajar hari Jumat seusai waktu sholat Jumat dan hari Minggu tanpa perlu membayar. Siti menolak, dia tak mau belajar jika tidak membayar. Dia yakin bisa membayar walau harus dicicil. Duh tak sanggup aku menerima uang dari orang yang untuk kebutuhan sehari-harinya saja masih harus gali lubang tutup lubang.
Akupun menawarkan solusi, dia tak perlu membayar uang les padaku, sebagai gantinya, aku minta dia rutin memijatku sebelum belajar. Siti pun menyetujuinya. Siti memang belajar memijat dan bekam saat dia bekerja di Batam. Aku pernah dipijatnya saat punggungku terasa sakit, pijatannya lembut dan terasa enak di badan.

Kini, sudah sebulan Siti les padaku. Sebelum les dia memijatku selama satu jam, lalu aku mengajarinya selama 1,5 jam.
Siti “kupromosikan” pada teman-temanku sebagai pemijat handal. Alhamdulillah tetangga sebelah rumahku kini menjadi pelanggan tetap pijat dan bekamnya (malah rencananya mau belajar memijat pada Siti).
Selain pijat badan dan bekam, Siti juga bisa memijat wajah dan creambath. Nah sekarang aku tidak pernah nyalon untuk creambath lagi, karena lebih enak creambath di rumah, dibantu Siti.
Jadilah kini aku selalu riang gembira (kalau bisa salto deh *lebaaaaaay*) menyambut hari Jumat dan Minggu, karena akan menerima perawatan badan, wajah dan rambut, dan aku bisa menikmatinya sambil terkantuk-kantuk saking enaknya.

Karena melihat Siti lebih piawai memijat daripada menjahit, dan uang yang dihasilkan dari memijat lebih banyak dibanding dengan jualan kaos kaki, Siti kuminta konsentrasi memijat saja. Namun Siti menolak, dia bilang, ingin jadi penjahit daripada pemijat.
Apapun yang diinginkan Siti, jadi penjahit, pemijat atau pedagang, aku berharap dia mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan anaknya, dapat mandiri, agar tak lagi merepotkan orang tuanya.

Aaakh ternyata aku dan Siti sedang melakukan barter.
Indahnya hidup jika mampu berbagi ya, tak harus menunggu hingga kaya harta bukan?
Punya ilmu menjahit dan memijatpun bisa kok berbagi.

10 komentar:

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa