Kata "Mudik" begitu sering kita dengar saat menjelang Idul fitri. Berbondong-bondong orang menuju kampung halamannya. Kembali ke kampung halaman di masa Idul Fitri memang bukan sekedar menjejakkan kaki kembali di tanah kelahirannya, toh banyak yang tak lahir di kampung sana. Namun sepertinya mudik adalah jawaban kerinduan pada tempat dan suasana saat kita belum menjadi apa-apa, saat kita bisa berkumpul dengan teman-teman masa kecil dan kerinduan mengenang masa lalu.
Sebenarnya mudik dapat dilakukan kapan saja. Malah akan lebih murah dan tak macet jika dilakukan saat di luar Lebaran. Namun mengapa mereka memilih mudik saat Lebaran yang tentu saja harga tiket melambung, macet gak ketulungan, belum lagi berdesak-desakana dengan penumpang lain, bahkan menginap di stasiun kereta demi mendapatkan tiket pun dijalani. Kebanyakan dari pemudik menganggap Lebaran adalah waktu yang tepat untuk berkumpul, karena jika dihari lain mereka tak akan mendapatkan suasana seperti saat Lebaran.
Mudik saat Idul Fitri memang berbeda dengan mudik lainnya, karena aura Idul fitri mewarnai kita. Lihatlah betapa ramah, santun, senyum dan keridhaan mewarnai pemandangan saat Idul Fitri, semua orang sepertinya berbahagia dan berlapang dada memaafkan kesalahan (walau tak Idul fitri pun kesalahan bisa dimaafkan).Aura keramahan dan kesantunan nasional ini tak akan kita temui di luar Idul Fitri.
Mudik juga mengembalikan diri pada silaturohim, menjalin hubungan kekerabatan, bertatap muka, bertukar sapa dan berbagi kebahagian.
Mudik memang suatu fenomena Nasional yang unik, saya tak tahu apakah di negara lain juga ada fenomena mudik dengan segenap kerepotannya.
Jika mudik kita maknai kembali ke asal, maka mudik dapat menjadi sarana yang baik untuk mencerahkan jiwa kita, berinteraksi penuh keramahan dan mudah memaafkan.
Wallahu alam
0 komentar:
Posting Komentar