Bukan Sekedar Nilai Kepraktisan.

Dalam kehidupan yang semakin menyita waktu untuk mengurus banyak pekerjaan, maka tak pelak lagi kepraktisan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat. Jika dulu orang harus mengantri di bank untuk mengambil uang, kini cukup menuju ke ATM.
Banyak kepraktisan ditawarkan produsen agar konsumennya merasa lebih mudah dan nyaman untuk mendapatkan produknya.
Namun benarkah semua yang berlabel praktis adalah cara terbaik dalam kehidupan kita?

Kisah di balik penulisan post ini adalah saat beberapa orang teman menilai saya telah memilih melakukan hal yang hanya buang-buang waktu saja. Menurut mereka sebaiknya saya me-laundry saja pakaian-pakaian tersebut daripada harus capek mencuci, apalagi saya mencuci secara manual dengan tangan, bukan memakai mesin.
Menurut mereka, ada pilihan yang lebih praktis, lalu menggunakan tenaga saya untuk hal yang lebih berguna dari hanya sekedar umbah-umbah (mencuci baju, bahasa Jawa).

Hehehe, buat saya, memilih mencuci baju lalu menyetrikanya sendiri itu adalah sesuatu hal yang menyenangkan dan melegakan, walau harus saya akui itu melelahkan fisik.
Namun suatu aktivitas kan bukan hanya dinilai dengan parameter kepraktisan, kemudahan maupun nilai ekonominya.
Lihatlah orang memancing, ngapain sih berlama-lama nungguin tali pancing bergerak. Kenapa bukan memilih hal yang lebih praktis saya, beli ikan di pasar misalnya, sudah jelas dapat, tidak seperti memancing, yang mungkin saja tak seekor ikan pun terpancing walau sudah berjam-jam menunggu.
Sebagian orang menganggap hal tersebut hanya buang-buang waktu saja. Tidak efektif, tidak praktis.
Namun tidak bagi si pemancing, dia mendapatkan kesenangan bukan hanya saat mendapatkan ikan saja, namun aktivitas hingga dia mendapatkan ikan (dengan segala triknya) itu yang dia cari.
Niat utama sang pemancing adalah menikmati aktivitas mendapatkan ikan, sedangkan yang tidak setuju dengan memancing melihatnya sebagai cara mendapatkan ikan, bukan aktivitasnya.
Perbedaan pandangan atas niat inilah yang menyebabkan ada orang berpendapat bahwa mengerjakan sesuatu yang “ribet”, adalah pilihan yang tidak cerdas, sementara ada pilihan praktisnya.

Saya sudah kebal dengan pertanyaan “Kok gak beli lulur aja sih?, kan murah, praktis lagi”, saat teman mengetahui saya membuat lulur sendiri yang prosesnya cukup panjang dan melelahkan. Bagaimana tidak?, untuk mendapatkan satu toples lulur, saya harus mencabut sendiri umbi temu giring di halaman belakang rumah. Sebelum mencabutnya saya harus mencangkul tanah di sekitarnya untuk mengurangi kepadatan tanah. Saya yang bukan petani dan jarang memegang cangkul, tentu saja pekerjaan menggemburkan tanah dan mencabut umbi adalah hal berat dan melelahkan. Setelah memisahkan umbinya dari tanah yang menempel (seringkali di tanah itu ada cacingnya) lalu mencuci umbi-umbi tersebut, kemudian mengupasnya, mengiris tipis, menjemurnya dalam beberapa hari, lalu mencampurnya dengan bahan-bahan lainnya. Capek? PASTI !,
Namun ritual membuat lulur ini sangat saya nikmati, apalagi saat mendapatkan hasil yang seperti saya inginkan, wah kepuasan tersendiri

Saya berusaha (mendidik diri saya) untuk menikmati aktivitas yang tidak mengeluarkan biaya namun menghasilkan sesuatu. Ya misalnya seperti contoh diatas, saya meikmati membuat lulur, mencuci baju, membuat jamu atau sekedar memandang tanaman di halaman.
Hal ini sengaja saya “budayakan”, karena saya tidak ingin hidup terjajah oleh sesuatu yang harus dibeli, harus mengeluarkan uang.
Apakah saya tidak mau mengeluarkan uang demi kesenangan saya?, ENAH! Justru karena saya paham, bahwa saya mempunyai hobi travelling yang (menurut saya) cukup banyak mengeluarkan biaya (walaupun jalan-jalan ala backpacker, namun tetap saja mengeluarkan biaya yang tak murah), inilah yang mendorong saya menyeimbangkannya dengan menikmati kegiatan-kegiatan sederhana yang tidak memakan biaya.
Jadi sembari menabung demi jalan-jalan, saya juga masih bisa hidup cerah ceria bahagia lahir batin dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bagi sebagian orang dianggap hal yang kurang prakts dan efektif.
Saya khawatir jika saya tidak dapat menikmati hal-hal kecil, maka kejenuhan, rasa capek hingga stress akan mudah hinggap. Wah ogah banget deh hidup dengan beban kejenuhan dan stress.

Kembali lagi pada tuduhan bahwa saya telah menyia-nyiakan waktu dan tenaga untuk hasil yang tak sebanding. Menurut saya sih semuanya tergantung masing-masing pribadi ya, yang namanya orang komentar kan pastinya menurut anggapan dia. Ya tidak mengapa jika ada yang berkomentar begitu, tidak perlu ditanggapi dengn rasa marah. Yang pasti saya hanya mengerjakan pekerjaan yang menurut saya ada hasil dan manfaatnya, meskipun hanya sekedar umbah-umbah.

Wallahu a’lam bishshawab


2 komentar:

  1. nitip deh kalo begitu...ga banyak kok 2 ember! #eh

    BalasHapus
  2. @Aprie > hahaha...hambok kiro aku kie penitipan kumbahan pow? :p

    BalasHapus

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa