Memilih yang Baik



Dulu saya pernah memposting perihal pilihan disini
Kini saya menuliskan kembali soal pilihan yang membawa saya pada apa yang disebut dengan bahagia lahir batin #cetaaaaaaaar
Allah meminta kita untuk bergaul dengan orang-orang sholeh. Hal ini dimaksudkan agar kesholehan mereka “menular” kepada kita.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak sholeh?, dijauhi?.
Ya kalau pembaca bisa membuatnya lebih baik, monggo didekati dan dinasehati agar sholeh, tapi kalau merasa belum mampu menasehati, menurut saya, lebih baik menjauh dan menghindar saja. Eh ini menurut saya lho ya, kalau beda pendapat ya silahkeun.

Kadang kita baru tersadar telah salah memilih setelah melewati satu peristiwa.
Itulah yang saya alami. Saya tidak menyebutnya salah bergaul, namun salah memilih orang yang patut untuk didengar dan dilaksanakan omongannya.
Saya tidak akan menyalahkan orang lain atas peristiwa apapun yang saya alami, karena semua peristiwa yang terjadi, tentulah atas ijinNYA. Jika pandai memetik hikmah, peristiwa sepahit apapun akan terlihat bagai sebongkah batu yang dapat kita pijak, agar kita bisa lebih tinggi, sehingga dapat melihat lebih luas.

Karena sebuah tanggung jawab, mengharuskan saya setiap hari bertemu dengan “segerombol” orang-orang ini *kita namakan saja mereka gerombolan komentator ya (soalnya “profesi tetap” mereka adalah mengomentari orang lain)*
Gerombolan ini tak sepaham dengan saya, misalnya mereka menganggap pilihan saya untuk menjadi penjahit adalah pilihan salah, karena profesi penjahit itu tidak keren, tidak bergengsi. Sayapun mulai berpikir, mungkin benar ya jadi penjahit itu tidak keren?, tapi saya memang suka sekali menjahit dan ingin mempunyai usaha dalam bidang jahit menjahit, jadi bingung deh. Mulailah saya ragu dengan pilihan saya, akhirnya saya hanya membuat baju untuk diri sendiri demi memuaskan hobi menjahit.
Kemudian saya melirik dunia tulis menulis, dengan harapan saya akan “satu pemahaman” dengan mereka, karena memilih dunia yang lebih keren dari “hanya sekedar menjadi penjahit” (harus pakai tanda petik dan ditulis miring, PENTING!). Tapi apa yang terjadi?, saya dikomentari pemalas, karena kerjanya hanya di depan laptop terus (idih, padahal saya kan juga ngurus mama yang sakit, mengerjakan urusan rumah, masak, bebersih, ngelesin privat, #Hrrrrgggg). Pada tahap ini sayapun belum sadar kalau saya seharusnya tak perlu mendengarkan komentar mereka. Akhirnya saya memilih menuruti apa kata gerombolan ini, berhenti menulis dan tidak lagi terkoneksi dengan internet, walau dengan hati perih bagai tersayat sembilu #lebaaaaaaaayyyyyy.

Njahit gak boleh, nulis gak boleh, okh ngaji mungkin boleh ya?, mulailah saya aktif kembali mengaji, setelah pernah berhenti selama 3 tahun. Seiring dengan bertambahnya ilmu dan pemahaman saya, penampilan sayapun mulai berubah. Saya memakai baju muslim, gamis lebar, kerudung menutup dada.
Aoalaaaaaaahhh, lagi-lagi dikomentari miring. Mereka bilang penampilan saya ndeso, tidak modis, bajunya kegedean. Sayapun diperingatkan untuk tidak perlu “seperti itu” (gak perlu ngaji maksudnya), khawatir saya jadi teroris, karena bergaul dengan teman mengaji yang mengenakan cadar. #pyuuuh #ngelappeluh.

Yup! cukup sampai disini!, saya mulai berpikir untuk “memberontak” atas penilaian mereka.
Hingga pada satu peristiwa yang membuat saya yakin bahwa mengabaikan mereka adalah lebih baik bagi saya *ekstrem ya*.
Mulailah hari itu juga saya proklamirkan ke diri sendiri, bahwa saya layak untuk melakukan apa yang saya suka, apa yang saya anggap baik, tanpa harus menuruti mereka. Toh semua yang saya lakukan dan dikomentari miring itu bukanlah hal yang melanggar batas apapun. Jadi apa yang harus saya khawatirkan?.

Dengan membawa rasa percaya diri segede gaban, saya mulai menghubungi sahabat saya semasa SMA. Kami memutuskan untuk bekerja sama dalam bisnis jahit menjahit.
Saya mulai membuka internet kembali, memuaskan menulis dan membaca.
Jika dulu saya harus berganti baju saat akan bertemu salah satu orang dari gerombolan ini *biar tidak dikomentari miring*, kini dengan tenangnya saya akan memakai gamis segede payung terkembang, dengan kerudung menjulur panjang.

Lalu tiba-tiba dunia menjadi indah berwarna-warni, awan berarak, bunga berseri-seri, kumbang menari lincah. Seperti itulah dunia yang saya lihat, begitu saya tak lagi khawatir akan komentar gerombolan ini.
Hidup terasa sangat menyenangkan saat kita mengerjakan apa yang kita suka, sampai saya ingin salto jumpalitan tiap hari karena senangnya,.
Saya merasa nyaman diantara gulungan kain dan kertas-kertas pola.
Saya juga merasa seksi saat dikelilingi tumpukan buku, kemudian mengahadap laptop dan konsentrasi menulis apapun yang ada dalam pikiran saya. Pokoknya nulis, mau di publikasi atau tidak, saya tetap senang mengerjakannya.
Saya juga merasa tenang mengenakan gamis lebar, karena busana model itulah yang saya pahami sebagai busana yang baik.

Tak sekalipun saya menyalahkan mereka, karena memang sayalah yang salah, kenapa juga saya ijinkan mereka menyetir hidup saya?, dah gitu nyetirnya bukan ke arah yang saya tuju *cakar-cakar aspal*.
Pilihan mengabaikan yang tak baik membuat saya dapat tersenyum.
Tersenyum saat melihat tulisan saya ada diantara halaman majalah atau koran, puas meraba payet yang berbaris rapi di baju pelanggan dan kadang tertawa saat membaca komentar teman di internet.
Menjahit, menulis, online dan tetap mengaji membuat hidup saya merona.
Selain merona, kegiatan itu juga membuat saya bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah.

Pengalaman inilah yang kini membuat saya lebih baik menjauh dari lingkungan yang membuat saya tak nyaman, karena sadar, saya belum mampu mewarnai yang buruk menjadi baik, salah-salah saya yang akan terwarnai oleh aura buruk.
Menjauh dari orang-orang yang gemar berkomentar miring pada siapapun dan menghindar dari orang-orang bermulut tajam.
Kita diminta untuk saling menasehati dalam kebaikan, namun saya baru dalam tahap menghindar, karena saya memang belum mampu menasehati.
Maafkan saya yang belum pandai menasehati orang selain menasehati diri sendiri.
Semoga.

6 komentar:

  1. bener sekali mbak. Komentar2 negative memang selayaknya dibalas dengan senyum saja. Gak perlu dimasukkan ke dalam hati (walau kadang bocor juga masuk ke dalam hati.. haha). Ya itu wajar banget, namanya aja belajar sabar. <-- omonganku koyok wis jagoan menahan sabar wae yah.

    nggih pun sugeng istirahat. Aku tak kembali mektor lagi.. *gak enek sing takon haha*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mas atas vektornya *lho replynya gak nyambung*
      Engkau adalah salah satu temanku yg membuatku tertawa saat membaca banyak komen dan status di internet mas :)

      Hapus
  2. Lha pilihanmu sebagai potomodel gimana mbak?
    Ada komentar yang miring kah dari gerombolan si berat tersebut? atau komentar lurus, bulat dan lonjong?

    Orang bisanya cuma komentar kok mbak, kadang ketika mereka mengalami masalah ya nggak bisa menyelesaikan.
    Aku kadang juga mbak, bisanya cuma komentar aja (Khususnya berkomentar tentang kejelekan terutama pas hati lagi dilanda perasaan iri dan cemburu). Karena itu adalah pekerjaan yang paling mudah dan paling ringan dan bisa dikerjakan oleh banyak orang.

    Salah pilih bagian dari warna hidup, kalo kita nggak pernah salah kita juga nggak akan tau mana yang benar.
    Salam super sukses dahsyat inbox dering..

    BalasHapus
    Balasan
    1. sssssttttt...gerombolan itu gak tahu klo aku pernah memilih menjadi seorang potomodel. Diam aja ya Yu :p :d

      Hapus
  3. memang sebaiknya di indari aja lingkungan yg udah bikin kita gak terlalu nyaman.. setuju deh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe...mungkin karena saya belum bisa menasehati ya mak, jadi menghindar aja deh

      Hapus

Copyright @ Elsenovi Menulis | Fluzu theme designed by Pirawa